Kerikil bergeser di bawah sepatu Tiwi saat menuju pantai. Lengannya terasa berat dan mati rasa. Rasa sakit di kakinya bertambah karena beratnya pakaiannya yang  basah. Napasnya terengah-engah. Tinggal beberapa langkah lagi.
Saat kakinya menyentuh pasir pantai, Tiwi berteriak penuh kemenangan, lalu rebah karena kelelahan. Rasa lega karena sudah berhasil selamat diwarnai dengan penyesalan bahwa orang tuanya tidak bersamanya. Dia memikirkan liontin perkanya yang berada di dasar laut, dan berpikir seharusnya, saat panik dia memasukkannya ke dalam saku. Liontin  adalah pusaka keluarga, turun temurun dari nenek ke ibunya da kemudian ke Tiwi. Mama dan papanya membawa kalung itu ke mal dan menyisipkan potret keluarga sebagai hadiah ulang tahun keenam belas. Dia rindu melihat wajah mereka lagi. Namun, pada saat itu, yang dipikirkan hanyalah keluar dari air.
Betapa menyenangkan rasanya berbaring di pantai yang hangat dan kering. Napasnya yang tersengal-sengal mereda, meski paru-parunya masih terbakar dan kepala berdenyut-denyut.
Ombak lembut menyapu garis pantai, beberapa sentimeter dari wajahnya. Dia merasakan pasir pantai lengket di pipi. Berguling telentang, Tiwi menghirup udara segar dan membiarkan sinar matahari menghangatkan kulit. Matanya terbuka lebar melawan cahaya yang menyilaukan. Dia tahu bahwa dia harus bangun, tetapi dia hanya berbaring di sana, tidak bergerak.
Miko merangkak keluar dari air dan jatuh dengan wajah lebih dulu ke pasir putih. Zaki berjuang untuk berdiri dan jatuh di samping Tiwi.
Gadis itu menghirup aroma asin laut dan daun kelapa. Nyanyian burung yang ceria bergema di udara. Monyet memekik, dan simfoni serangga terdengar di telinganya.
"Kita di sini ... entah di mana 'di sini' berada."
Miko berdiri tapi kemudian jatuh berlutut, memuntahkan pasir dan menyekanya dari pipinya. Dia berbalik dan menghadapi bentangan garis pantai yang tak terputus. "Sepertinya tidak ada manusia di sini."
Tiwi mencari di langit untuk helikopter atau pesawat, tanda-tanda kehidupan manusia. Pasti ada yang telah mengetahui lokasi mereka dan akan segera datang menjemput. Ini hanya masalah waktu, bukan? Tetapi tanpa persediaan, waktu tidak berpihak pada mereka.
Otot-ototnya sakit karena kelelahan, tetapi dia memaksakan diri untuk berdiri. "Di mana tim SAR? Aku tidak ingin terjebak di sini dengan serangga raksasa."
"Ini masih pagi." Zaki mengulurkan tangannya dan meremas tangan Tiwi. "Mereka mungkin memantau air terlebih dahulu karena mereka tahu kita berada di kapal. Ini akan memakan waktu untuk mencari di antara pulau-pulau. Selain itu, mengetahui siapa orang tua lu, tampang kita bisa dipastikan tampil di headline news sekarang. "
Kata-kata Zaki memberikan secercah harapan pada teman-temannya.
Mereka mengagumi keindahan yang menakjubkan di sekitarnya. Pohon kelapa menghiasi pantai, dan aroma manis bunga tertiup angin. Itu adalah surga tropis seperti yang dilihat Tiwi di kartu pos atau iklan untuk lotion sunblock. Hutan lebat mengintip dari balik pantai berpasir. "Ini seperti Eden Karibia. Menurutmu kita berada di negara mana?"
"Kalaulah gue tahu." Zaki berdiri dan mengamati sekelilingnya. "Sebuah pulau dilingkari merah di peta kapal. Jika kita melewati itu, maka kita berada di dekat pulau Sanding, tetapi tidak ada yang tahu seberapa jauh badai membawa kita keluar jalur."
Tatapan Mikeomenyapu hutan hujan. "Jadi, uh... maksud lu kita bisa ada di mana aja?"
"Gitu, deh," kata Zaki dengan rahangnya terkatup.
Tiwi berlari mundur ke pasir panas dan berbaring. Rasanya lebih hangat daripada mantel musim dingin mana pun yang pernah dipakainya. Pasir seputih gula berkilauan seperti salju di bawah sinar matahari pada musim dingin di Alpen, Swiss. Dia meraup pasir dan membiarkannya lolos dari jari-jarinya.
Miko menatap seolah terhipnotis oleh pasir yang indah. "Pasirnya berkilau."
Tiwi menggoyangkan kakinya, melihat pasir berkilauan di sekelilingnya. "Ya, seperti di Pantai Coronado. Mineral apa yang menyebabkan efek berkilau ini?"
"Mika," kata Zaki, menjatuhkan diri di sebelah Tiwi, "konsentrasi tinggi di sini, berarti kita bukan di Mentawai."
"Kristal mika, ya? Aku suka kalau kamu bicara ilmiah," kata Tiwi  sambil menyenggol Zaki dengan siku. Â
Zaki tersenyum. Dia menyukainya ketika orang-orang mengaguminya karena kecerdasannya daripada hanya ketampanan dan kemampuan atletiknya.
Miko menanggalkan kemejanya yang basah dan memerasnya. Ketika dia melakukannya, Tiwi tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap. Pasir bukanlah satu-satunya yang bersinar di pantai itu, kulit keemasan Miko juga  berkilauan dengan dadanya yang berotot.
Miko menjentikkan tetesan air dari kemejanya ke arah Tiwi. "Gue pengen bisa fesbukan atau nginstagram semua ini."
Jejaring sosial yang ingin Tiwi jangkau adalah tim SAR atau Angkatan Laut dengan helikopter raksasa atau kapal besar.
"Kedua matahari itu cukup aneh, ya?" dia menyipitkan mata ke cakrawala yang cerah.
Zaki berbalik menghadapnya, melindungi matanya dari silau. "Itu pasti matahari tiruan. Gue yakin itu cuma ilusi optik."
"O ya?" dengus Miko. "Terus aja bilang ke diri lu sendiri, Zak. Lu tau? Gue mungkin percaya pendapat lu kalau aja gue nggak ngelihat air yang berubah warna atau ikan yang aneh atau capung raksasa," tambahnya dengan nada dramatis pada suaranya. "Asal lu tahu, kita bisa aja ada di dimensi lain."
Imajinasi Miko memang cenderung liar.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H