Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 61)

24 November 2022   18:30 Diperbarui: 24 November 2022   18:29 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku berpikir sejenak. 'Tampaknya cukup jelas bahwa David telah ditangkap oleh pihak China atau oleh X, yang telah mengetahui bahwa dia dikhianati."

"Begitulah menurutku juga," kata Joko. "Ngomong-ngomong, siapa pun itu, cukup jelas bahwa mereka belum membuatnya berbicara. Dia masih bertahan."

"Ya," kataku, "David pasti begitu."

Joko menatapku tajam. "Aku senang mendengarmu mengatakan itu," katanya pelan.

"Jangan pernah menganggap remeh David," kataku. "Dia iblis yang tidak punya tanggung jawab. Jangan pernah mempercayai dia. Tapi dia punya nyali."

"Dia akan membutuhkannya," kata Joko.

"Bagaimana selanjutnya, bos?" tanyaku.

"Kini sepenuhnya operasimu," jawab Joko. "Berangkatlah ke Anyer dan temukan David. Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu dalam kesulitan. Akan ada beberapa orang kita di sana. Urusan ini sudah hampir mencapai akhir dan kita tidak bisa berhenti meskipun sesaat. Kamu terus mengejar David. Orang-orangku akan berada tepat di belakangmu."

***

Mercedes Benz E200 mempersingkat perjalananku ke Anyer.Pukul setengah tujuh malam berikutnya aku sudah memarkir mobil di garasi hotel Marbella.

Aku melangkah masuk bar hotel. Pertukaran berlangsung cepat dan di antara para pengunjung aku melihat Jaka dalam pakaian sipil. Danar Hadi dan Kirana jin sibuk menuangkan minuman dan menerima pesanan.

Kirana melihatku dan datang menghampiri.

"Hai, Han," katanya. "Aku menerima emailmu. Kejutan yang menyenangkan melihatmu lagi." Wajah cantiknya berseri-seri.

Aku melihat sekeliling bar yang ramai. "Senang bisa kembali," kataku. "Kamu terlihat cantik seperti biasa."

Kirana tersenyum. "Kamu mendapat kamar lamamu," katanya. "Aku akan meminta Nanang untuk membawakan tasmu."

"Tidak apa-apa, Kirana" kataku. "Kalau boleh aku minta bir."

Segelas bir meluncur ke seberang meja bar ke arahku, dan saat aku minum, aku mendengar dengungan percakapan yang dimonopoli oleh seorang nelayan bertubuh kecil setengah baya. Meski kecil, tapi tampak tangguh. Dia berdiri membelakangi perapian yang menjadi hiasan bar.

Aku berkata kepada Kirana, "Orang itu benar-benatr jago mendongeng."

"Sebutannya Andir Bibir," katanya tertawa. "Sesuai dengan julukannya. Tak bisa berhenti berbicara kecuali saat minuman masuk ke tenggorokannya."

Tepat saat itu Andir Bibir meneguk birnya sampai tandas dan para pendengarnya menunggu dalam diam hingga kisah yang diceritakannya berlanjut.

"Kami naik kapal pukat ini dan si Tua Feri menempelkan brewoknya ke mukaku," lanjut Andir, "dan dia bilang, 'kalau kau tak turun dari perahuku, aku akan mengikat dan menggantungmu!"

"Kebiasaan kamu, Ndir!" kata nelayan lain. "Mengingatkanku pada si tua Opik--"

"Aku belum selesai ngomong!" potong Andir Bibir yang merasa terganggu.

"Lah, kamu kapan selesai ngomong?  Tunggu  diusir Danar?" timpal sebuah suara dari sudut.

Tapi Andir tak gampang dibungkam. "Si Tua Feri memegangku," dia melanjutkan, "napasnya di muka bikin aku hampir pingsan. Bau banget, kalah bau jeroan ikan yang dijadiin umpan hiu! Kemudian Kapten muncul dan menepuk bahunya, bilang, Anda tidak bisa memperlakukan salah satu dari anak buah saya seperti itu!' Tahu apa yang dibuat si Tua Feri?"

"Mengikat kamu ke jangkar," terdengar suara dari sudut.

Andir mengabaikan interupsi itu. "Dia mendatangi Kapten dan dia melotot. 'Sekali lagi kau mencicit,' katanya, 'aku lempar kalian berdua ke lobang WC!'"

Gelak tawa pun meledak. Tapi seorang nelayan tua yang berdiri di samping Andir mengangguk. "Si Tua Feri pasti serius," katanya. "Selalu saja dia menantang siapa pun yang mendekat ke perahunya. Aku memilih menghindar, pura-pura tuli."

"Memang sebaiknya begitu, Mang Uwi," kata Andir. "Aku juga tak mau lagi cari masalah dengan dia. Dasar pelukis sarap."

Jaka berkata dengan nada bijak, "Kudengar lukisannya banyak laku di Jakarta."

"Di sini tidak ada yang mau membeli lukisannya," kata Andir dengan nada menghina yang paling pahit. "Orang-orang di sini lebih waras."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun