Aku melangkah masuk bar hotel. Pertukaran berlangsung cepat dan di antara para pengunjung aku melihat Jaka dalam pakaian sipil. Danar Hadi dan Kirana jin sibuk menuangkan minuman dan menerima pesanan.
Kirana melihatku dan datang menghampiri.
"Hai, Han," katanya. "Aku menerima emailmu. Kejutan yang menyenangkan melihatmu lagi." Wajah cantiknya berseri-seri.
Aku melihat sekeliling bar yang ramai. "Senang bisa kembali," kataku. "Kamu terlihat cantik seperti biasa."
Kirana tersenyum. "Kamu mendapat kamar lamamu," katanya. "Aku akan meminta Nanang untuk membawakan tasmu."
"Tidak apa-apa, Kirana" kataku. "Kalau boleh aku minta bir."
Segelas bir meluncur ke seberang meja bar ke arahku, dan saat aku minum, aku mendengar dengungan percakapan yang dimonopoli oleh seorang nelayan bertubuh kecil setengah baya. Meski kecil, tapi tampak tangguh. Dia berdiri membelakangi perapian yang menjadi hiasan bar.
Aku berkata kepada Kirana, "Orang itu benar-benatr jago mendongeng."
"Sebutannya Andir Bibir," katanya tertawa. "Sesuai dengan julukannya. Tak bisa berhenti berbicara kecuali saat minuman masuk ke tenggorokannya."
Tepat saat itu Andir Bibir meneguk birnya sampai tandas dan para pendengarnya menunggu dalam diam hingga kisah yang diceritakannya berlanjut.
"Kami naik kapal pukat ini dan si Tua Feri menempelkan brewoknya ke mukaku," lanjut Andir, "dan dia bilang, 'kalau kau tak turun dari perahuku, aku akan mengikat dan menggantungmu!"