"Kebiasaan kamu, Ndir!" kata nelayan lain. "Mengingatkanku pada si tua Opik--"
"Aku belum selesai ngomong!" potong Andir Bibir yang merasa terganggu.
"Lah, kamu kapan selesai ngomong?  Tunggu  diusir Danar?" timpal sebuah suara dari sudut.
Tapi Andir tak gampang dibungkam. "Si Tua Feri memegangku," dia melanjutkan, "napasnya di muka bikin aku hampir pingsan. Bau banget, kalah bau jeroan ikan yang dijadiin umpan hiu! Kemudian Kapten muncul dan menepuk bahunya, bilang, Anda tidak bisa memperlakukan salah satu dari anak buah saya seperti itu!' Tahu apa yang dibuat si Tua Feri?"
"Mengikat kamu ke jangkar," terdengar suara dari sudut.
Andir mengabaikan interupsi itu. "Dia mendatangi Kapten dan dia melotot. 'Sekali lagi kau mencicit,' katanya, 'aku lempar kalian berdua ke lobang WC!'"
Gelak tawa pun meledak. Tapi seorang nelayan tua yang berdiri di samping Andir mengangguk. "Si Tua Feri pasti serius," katanya. "Selalu saja dia menantang siapa pun yang mendekat ke perahunya. Aku memilih menghindar, pura-pura tuli."
"Memang sebaiknya begitu, Mang Uwi," kata Andir. "Aku juga tak mau lagi cari masalah dengan dia. Dasar pelukis sarap."
Jaka berkata dengan nada bijak, "Kudengar lukisannya banyak laku di Jakarta."
"Di sini tidak ada yang mau membeli lukisannya," kata Andir dengan nada menghina yang paling pahit. "Orang-orang di sini lebih waras."
BERSAMBUNG