Steben buru-buru menengguk habis birnya lalu meletakkan gelas di atas meja. "terima kasih untuk minuman," gumamnya. "Aku harus kembali."
Aku memasang tampang kecewa. "Dua juta tidak menarik buatmu?"
"Bukan begitu," Steben membantah. "Siapa yang tidak tertarik uang? Tapi aku tak mungkin membicarakan tentang mobil itu."
Aku menatapnya untuk beberapa saat. Aku tahu bahwa dia tidak akan melewatkan dua juta rupiah semudah itu. "Aku akan memberikan tawaran lain," kataku akhirnya.
Steben menatapku waspada. "Aku mendengarkan."
"Aku bertemu dengan seorang preman bernama Kujang di Warung Emak," kataku. "Dia datang menemuiku karena menjawab panggilan telepon yang dilakukan Emak ke kamu."
"Aku tidak ada sangkut pautnya dengan itu," kata Steben meski terlalu mudah membaca kegugupannya. "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, sobat."
"Aku tahu kamu tahu," kataku. "Tapi yang benar-benar menarik perhatianku, Kujang membutuhkan lebih dari satu jam untuk sampai ke warung setelah Emak menelepon kamu."
"Jadi?" tanya Steben dengan wajah berkerut.
"Artinya Kujang tidak mungkin menunggu di showroom," kataku. 'Tempatmu hanya tiga puluh menit dari warung."
"Aku tidak tahu apa maksudmu," kata Steben.
"Kamu tidak tahu? Baiklah, aku akan memberitahumu. Segera setelah kamu mendapat kabar dari Emak Ema, kamu  menelepon Kujang. Kamu meneleponnya dan dia membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke Warung Emak."
"Kamu gila!" seru Steben dengan nada marah. "Aku bahkan belum pernah mendengar ada orang yang namanya Kujang." Dia berjalan menuju pintu.
'Aku akan memberimu dua jutaasal kamu mau memberitahuku nomor yang kamu hubungi," kataku tenang.
Steben berhenti dan menatapku dengan waspada. "Dua juta hanya untuk nomor telepon?"
"Betul," jawabku. "Gampang, kan?"
"Kedengarannya terlalu gampang," katanya. "Apakah kamu punya uang tunai?"
Aku menyeberang ke meja dan membuka laci, mengeluarkan seikat uang dua puluh ribuan. Dengan santai aku melemparkannya ke atas meja. Steben yang terpesona, memperhatikanku.
"Mari kita luruskan ini," katanya. "Aku memberi kamu nomor telepon, dan dua juta ini jadi milikku. Benar?"
Dengan sabar, aku mengulangi kata-kataku. "Begitu kamu mendapat kabar dari Emak Ema, kamu  menelepon Kujang. Aku hanya ingin nomor yang kamu hubungi, itu saja."
Mata Steben terpaku pada pada tumpukan uang kertas di meja. Dia berjuang dalam pertempuran terakhir dengan kesetiaan yang salah tempat dan kalah.
Dengan suara serak dia berkata, ''...itu nomornya dan tunggu aku pergi sebelum kamu menelepon."
Untung saja Steben terlalu sibuk menatap tumpukan uang, karena aku sangat ragu apakah aku bisa tetap memasang muka poker saat melihat layar.
Aku menunjuk ke uang segepok itu itu dan berkata, "Silakan."
Dia mengambil uang itu, menghitungnya dengan cekatan dan memindahkannya ke saku dalam jaketnya.
Aku bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Steben dengan rejeki nomplok yang tiba-tiba ini? Judi gelap, bar minuman, transaksi barang curian ... semua hal yang jelas-jelas disukainya.
Tiba-tiba aku merasa jauh lebih baik tentang tugaspekerjaanku. Pihak lawan punya caranya masing-masing, tetapi setidaknya salah satu dari mereka terbuka untuk bujukan finansial.
Steben berkata dengan tegang, "Kalau ada yang bertanya padamu, aku tidak pernah memberimu nomor itu, mengerti? Aku bahkan tidak pernah melihatmu malam ini. Kamu mengerti?"
"Aku mengerti," kataku. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Sekarang, pergi dari sini."
Steben tampak kecewa. "Jangan begitu, sobat. Aku harus hati-hati. Aku punya bisnis yang harus kujaga," katanya.
Aku memutuskan bahwa sudah cukup berurusan dengannya. Menunjuk ke pintu, aku berkata pendek, "Keluar."
Dia menatapku dengan tatapan berracun dan pergi.
***
Setelah Steben pergi, aku mondar-mandir di ruang duduk selama satu menit penuh. Kemudian aku mengeluarkan ponsel dan menelepon.
Suara Ratna Dadali terdengar menjawab. "Hei, Han!"
"Hai, Ratna. Senang mendengar suaramu. Bisakah kamu besok datang ke tempatku? Sekitar pukul enam sore."
"Tentu,sayang, dengan senang hati. Apakah ada kabar penting untukku?"
"Ya," jawabku pelan, "Ada berita yang harus kusampaikan padamu."
Aku menutup telepon sebelum dia sempat bertanya apakah itu berita baik atau buruk.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI