Ponselnya berbunyi. Nira melirik layar dan senyumnya melebar. "Sepertinya segala sesuatu mulai bergerak menuju tempatnya. Ular kecilku memberitahuku di mana dua penyihir itu akan berada malam ini. "
Agung meletakkan pistolnya dan menatap Nira. Darahnya mendidih dalam nadinya. Tapi satu-satunya cara yang dia tahu, untuk membawa mereka semua ke pengadilan adalah dengan bekerjasama dengan si penyihir jahat. Untuk membawa semuanya ke muka hakim. Dia tak tahu banyak, hanya saja dia tahu segalanya tentang sekte kecil para penjahat licik itu.
"Di mana mereka?"
"Sebelumnya," jawab Niranjana. "Aku punya pertanyaan untukmu. Apakah anak buahmu pernah menyerbu klub sebelumnya?"
***
Dia berbaring di tempat tidurnya yang dibuatnya dari lapisan koran di lantai kantornya, dan menyaksikan kipas angin langit-langit berputar tanpa henti. Matanya ikut berputar sampai mati rasa. Dia mendengar dan mendengarkannya berulang kali, tetapi dia masih belum bisa mempercayainya. Rasanya masih belum nyata.
Dia mengetuk tombol 'play' aplikasi perekam suara di ponselnya.
"Pistol yang bagus." terdengar suara Niranjana. "Sayang sekali itu tidak akan ada gunanya bagimu, percuma kamu tujukan itu kepadaku."
Agung kembali memutar ulang rekaman pembicaraan mereka berulang kali sampai dia hafal semua yang dia katakan di luar kepala.
Tawanya meledak menenggelamkan suara dari aplikasi perekam. Satu-satunya suara yang bisa didengar di ruangan itu hanyalah suara tawa yang bergema membentur dinding.
Lagi. Dan lagi.