Nira menurunkan laras pistol dari dahinya lalu menjilat bibir sebelum berkata. "Aku mendapat bantuan. Bantuan dari kelompok lain, di sini, di Bandung ini. "
"Siapa?" Suara Agung sedingin udara Puncak. "Siapa yang membantumu?"
"Mereka kelompok penyihir terkenal," jawab Nira sambil menyandarkan ounggungnya kembali ke kursi. "Dikenal karena haus darah dan pembantaian yang tidak perlu. Mereka telah melakukan banyak hal untuk menghancurkan dunia kecilmu ini. "
"Siapa mereka?"
Nira tersenyum. "Mereka dikenal dengan banyak nama," katanya, "tapi yang paling populer adalah KOHIRKOBANG. Komunitas Penyihir Kota Kembang. Mereka membantuku mengikat adikmu sementara aku membunuh dan memutilasi tubuhnya. Tangkap mereka dulu, dan aku akan menyerahkan diriku, dengan senang hati. "
"Aku bisa menangkapmu sekarang," sergah Agung dengan suara serak.
Nira mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi kamu tidak akan dapat membawa seluruh pelaku pembunuhan adikmu ke pengadilan. Aku punya mata-mata di antara mereka, dan aku tahu azimat gelap, mantra terlarang apa yang dapat mengalahkan sihir mereka."
Jari Agung melekat di pelatuk, dan dia merasakan betapa besar hasratnya untuk menarik tuas kecil itu. Betapa inginnya dia.
"Itu langkah awal," ujar si penyihir sambil menatap ke papan catur kembali. "Mengorbankan pion untuk ratu." Dia menatapnya. "Mengorbankan yang kecil untuk sesuatu yang lebih besar. Apa yang akan kamu lakukan?"
Pistolnya tak pernah meletus. Agung menjawab, "Aku ingin kamu tahu bahwa jika kamu mengkhianati aku, aku akan berbuat jauh lebih buruk daripada apa yang kamu lakukan terhadap Mara."
Nira tersenyum. "Aku yakin kamu akan melakukannya."