Chintami tahu bahwa Citraloka menyembunyikan sesuatu.
Untuk menjadi pemimpin, seseorang harus menyembunyikan sesuatu. Bukankah merahasiakan sesuatu merupakan ajaran Machiavelli? Ada hal-hal sederhana yang harus dilakukan saat berada di puncak.
Dia juga punya rahasia sendiri.
Hal yang telah menjadi seorang penyihir. Pikiran tentang hal-hal yang muncul dalam tidurnya. Dia juga memikirkan kejadian itu ketika dia terbang melintasi dunia bersama Citraloka, yang mencengkeram Mbah Doko Sahir di tangannya.
"Kita menyelamatkan nyawa jika kita mampu," Citraloka pernah berkata padanya, dulu. "Dan kita mengambilnya bila perlu. Saat kita tidak punya pilihan lain."
Citraloka mematahkan leher si dukun tua seolah-olah itu bukan apa-apa, dan Chintami melihat Citraloka berubah menjadi gergasi yang meraung dan menginjak-injak mengguncang alam semesta, dan Chintami menangis, dan menangis, karena---
Dia tersesat dalam kegelapan, dan suaminya duduk di kursi, makan. Dia berdiri di sana menatapnya, dan suaminya ... dia terus makan. Chintami melihat lebih dekat apa yang dia makan, dan dia menutup mulutnya, matanya lebar.
"Berhenti!" dia berteriak, tapi suaminya tak berhenti memakan sesuatu: bola mata Chintami.
Dia memegang leher suaminya. "Berhenti!" Tami mencekiknya dan melemparkannya dari kursi. Dia bergerak untuk untuk mengambil piring di meja, tapi suaminya sudah kembali duduk, masih makan, masih mengunyah dengan gembira. Tami tahu itu adalah matanya karena dia tahu ekspresi bersalah yang ada di situ. Ekspresi pengkhianatan. Kebohongan. Â
Itulah ekspresinya sepanjang waktu dengan para penyihir, dengan Citraloka, dengan suaminya. Dia mendengar langkah kaki saat dunia melengkung dan bergetar. Dia menghela nafas dan mulai menangis air mata darah ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.