Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 45)

3 November 2022   13:30 Diperbarui: 3 November 2022   13:39 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Rusty Mercenary yang terletak di jalan Kemang Timur tampaknya menyediakan segalanya kecuali kompor dapur. Ada peluru tank, jerigen, walkie-talkie, pistol dan senapan replika (aku berasumsi semua adalah replika), buku-buku militer dan apa saja yang mungkin selamat keluar dari medan perang.

Aku menyadari bahwa datang ke toko ini akan memakan waktu cukup lama, tetapi setelah melihat alamat di paket di mobil Nyonya Ria, aku memutuskan untuk menindaklanjutinya. Aku mengamati pengatruran yang membingungkan di jendela etalase toko. Tepat di depan ada beberapa radio militer yang telah diperbaiki.

Tuan Syarif bercerita bahwa benda-benda yang dia kumpulkan, termasuk radio apa pun seperti yang di etalase toko itu dapat diperbaiki olehnya. Semuanya menunjukkan pengerjaan indah yang sama dan perhatian yang cermat terhadap detail. Aku memutuskan bahwa itu pantas untuk dicoba.

Pria di belakang konter datang ke arahku. "Ya, Pak?" katanya. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Aku tertarik dengan Perang Trikora, khususnya Pertempuran Teminabuan," kataku.

"Oh, ya, Pak?"

"Aku kolektor militaria pertempuran," kataku.

Pria itu mengangguk dan memberiku senyuman yang berarti. Kemudian dia membuka laci di bawah konter dan mengeluarkan sebuah amplop kecil, yang dia berikan kepadaku. "Anda datang tepat waktu," katanya. "Baru datang tadi pagi."

Aku duduk di mobilku dan merobek amplop itu. Di dalamnya ada foto kecil tapi sempurna. Setiap detail kaleng tembakau di apartemenku direproduksi dengan tepat: bagian luar depan dan belakang, dan bagian dalam.

Segera setelah sampai di apartemen, aku menelepon Ratna Dadali dan mengatakan bahwa aku harus segera bertemu dengannya.

Tak lama kemudian, dia sudah berdiri di pintu depan dan aku mengajaknya ke ruang tamu.

"Ada apa, sih, Han? Kedengarannya serius amat?" tanyanya santai. Dia duduk mengatur posisi untuk keuntungan terbaiknya di kursi berlengan dan sedikit mengangkat alisnya. "Kamu bilang kamu punya kejutan untukku. Aku harap itu kejutan yang menyenangkan."

"Itu tergantung kamu sendiri, Rat," kataku.

Aku mengeluarkan foto itu dari dompet dan menyodorkannya padanya. Foto yang sangat bagus, ya? Aku harus mengucapkan selamat padamu untuk skill fotografimu. Aku tidak pernah tahu bahwa itu adalah salah satu keahlianmu."

Ratna menatap foto itu dengan tajam. "Oh, Han..." katanya memelas.

"Setop sandiwaranya," kataku masam. "Dan jangan coba-coba bilang kalau bukan kamu yang mengambil foto itu, karena aku melihatmu. Aku rasa aku pantas mendapatkan penjelasan."

"A--aku nggak tahu harus berkata apa," gumamnya tak berdaya.

"Katakan sesuatu!" bentakku . "Mengapa kamu memotretnya?"

"Aku nggak tahu."

Matanya tertunduk dan jari-jari tanggnay memutar saputangan di tangannya.

"Aku tanya mengapa kamu mengambil foto itu," kataku datar. "Sekarang, jawab dengan jujur."

Ratna menatapku dan aku bisa melihat penderitaan di matanya. Dia berkata dengan gemetar, "David memintaku untuk melakukannya. Dia memberiku deskripsi kaleng itu dan memberi tahu bahwa--" dia tersendat dan suaranya menghilang ke dalam kesunyian.

"Ceritakan sisanya," kataku. "Dan dengan jujur."

Dia berbicara dengan serbuan kata-kata yang tiba-tiba. "Aku tidak berpikir, Han. David memberikan detail kaleng tembakau dan memintaku untuk memotretnya. Tampaknya tidak berbahaya."

Dia mencengkeram lenganku. "Han, aku sangat menyesal. Seharusnya aku memberitahumu tentang itu. Aku menyadarinya sekarang."

"Oh, sudahlah," kataku. "David memberitahumu mengapa dia menginginkan foto itu?"

Ratna menggelengkan kepalanya. "Nggak."

"Kamu tahu mengapa dia menginginkannya?"

"Nggak, aku sama sekali nggak tahu. Percayalah padaku, Han. Kamu percaya aku, kan?"

"Terus terang," aku menjawab, "Sama sekali tidak."

"Tapi itu kenyataannya!"

"Sekarang, dengarkan aku," kataku serius. "Kamu tahu? Orang-orang yang terlibat dengan David tidak main-main. Kalau kamui tahu sesuatu tentang mereka -- apa saja -- maka sebaiknya kamu memberi tahuku sebelum terlambat."

"Apa maksudmu ... sebelum terlambat?"

"Aku sudah memberitahumu apa yang terjadi pada Rusty Mercenary?" tanyaku cepat.

Dia berbalik menghadapku. "Betul. Bagaimana kamu tahu tentang Rusty?"

Aku mengabaikan pertanyaan itu. "Seperti apa muka David saat kau melihatnya?" tanyaku.

"Mengerikan," jawab Ratna. "Dia tampak sakit dan ketakutan. Dia tidak membicarakan hal lain. Tapi dia tampak sangat yakin tentang satu hal ... dia ingin kamu meninggalkannya sendirian."

"Lalu mengapa dia menulis pesan dan memintaku untuk menemuinya di Anyer?"

Ratna mengangkat bahu tak berdaya. "Aku nggak tahu."

"Apakah dia menyebutkan Anyer, atau pesannya?"

"Nggak."

"Apakah dia memberi tahu kamu dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?"

'Dia nggak cerita apa pun, nggak ada."

Ratna membakar ujung rokok dengan tangan gemetar.

Telepon berdering. Aku menatap Ratna yang dengan gugup mengisap rokoknya, lalu aku mengangkat telepon.

Aku langsung mengenali suara di ujung sana sebagai suara Nyonya Ria. Dia berkata terburu-buru, "Suami saya akan pergi dengan kereta besok, jadi tolong jangan datang kesini sebelum jam satu."

"Aku mengerti. Terima kasih sudah menelepon."

Aku menutup telepon dan menoleh ke Ratna.

"Aku haus. Kamu punya apa?" dia bertanya, suaranya terdengar tak bersemangat.

Aku mengambil botol bir dari dalam kulkas, menuangkannya ke dalam gelas dan menyerahkan satu ke Ratna.

Dia meminumnya sampai ludes. "Han, David terlibat masalah apa? Apa yang kamu tahu?"

"Tidak, aku belum tahu," jawabku.  "Tapi kuharap besok aku mendapat jawabannya."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun