AKBP Jayus menghela nafas. "Jadi, maksudmu dia penyihir."
Agung menghela nafas sebelum berbicara. "Komandan," katanya perlahan, "mereka semua penyihir."
Jayus menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Ya Tuhan. Jangan itu lagi, Agung. Aku sudah memberitahumu untuk menghentikan omong kosong tentang penyihir ini. "
"Pak," kata Agung, giginya terkatup rapat. "Saya tahu apa yang saya lihat malam itu di Dago Village. Dan setelah saya selidiki lebih jauh," dia mengambil gambar lain dari dindingnya yang menunjukkan seorang wanita dengan gaun berwarna merah darah. "Saya menemukan benang merah wanita ini dengan empat kejahatan di sekitar Jalan Riau. Dia semacam bos kejahatan. Saat ini saya tidak punya--- "
"Bukti nyata? Kamu tidak punya bukti, kan?" AKBP Jayus berteriak. "Kau tahu, hal yang kita perlukan untuk melakukan penangkapan sebenarnya?" Dia menghela nafas dan melepas kacamatanya. "Kamu perlu istirahat, Agung. Kamu jadi kacau sejak Dago Village." Dia menarik napas.
"Saya tidak tahu bagaimana memulainya, dalam seminggu saya ingin ini selesai. Kita memiliki kejahatan nyata yang harus diselesaikan."
Dan dengan itu, AKBP Jayus meninggalkan ruangan.
Agung terduduk di kursinya dan berputar-putar hingga seisi ruangan menjadi buram kehilangan bentuk dan warna. Saat dia berhenti berputar, dia menghadap ke dinding. Matanya tertuju pada gambar yang dia ambil dari toko aneh itu. Seorang wanita tinggi langsing keluar. Mengenakan pashmina biru. Lengannya tampak kokoh, rambut panjang, tatapan mata yang mampu melelehkan baja. Mata yang diyakininya-- dia berani bersumpah--pernah dia lihat sebelumnya.
Agung tahu kapan semua ini dimulai.
Dia tahu bagaimana semuanya dimulai. Selembar kertas merah marun dalam bentuk origami burung bangau, terletak di mejanya dengan tulisan singkat:
Jalan Braga 666 --- Penyihir.
Penyihir.
***
Wisata Rimba adalah tempat yang indah sekaligus kacau pada hari-hari baiknya, tetapi pada hari-hari buruknya, ini adalah neraka.
Neraka dan hanya neraka.
Dan Citraloka tahu, hari ini bukan hari yang baik. Tapi dia akan mengubahnya.
Rumah Gajah terletak di sisi terjauh tepi neraka. Sebuah bangunan raksasa dengan dua belas lantai, dibangun dengan bahan terbaik yang dapat dibeli dengan uang Atau setidaknya itulah yang diberitahukan kepada kontraktor.
Rumah Gajah memiliki lantai ketiga belas, terletak jauh di dalam tanah. sebuah gua yang dibangun oleh seratus satu tukang terbaik. Orang-orang yang tiba-tiba meninggal malam itu setelah pekerjaan selesai. Darah mereka mendidih, pembuluh pecah dan mata mereka mengalirkan darah hitam.
Setelah pembangunan fisik selesai, pekerjaan gaib dimulai. Lima puluh tiga perawan dibunuh di atas batu pondasi untuk memperkuat tempat itu. Tidak ada yang bisa melihatnya. Tak seorang pun yang tidak seharusnya masuk, bisa melihatnya. Tiga puluh satu anak balita tenggelam di sungai gua. Gua ini akan terus tumbuh dengan sendirinya dan membentang di bawah tanah hingga akhir zaman.
Dan untuk apa para pria dikorbankan? Kematian mereka untuk memperkuat pesona, membuat para penyihir tidak bisa dihancurkan, tidak tergoyahkan, tidak bisa dikalahkan.
Tak seorang pun kecuali komunitas mereka yang bisa menggunakan sihir di sini. Itu adalah tempat suci tertinggi mereka.
Itulah yang membuat Niranjana mengamuk, mungkin, Ketua Klub Penyihir Darah dan Air Mata itu berlutut di tanah. Pecahan kaca dan logam menusuk tangannya saat darahnya mengucur ke tanah.
Para penyihir lainnya melipir menjauh di tempat terbuka, menyaksikan dari kegelapan saat ketua mereka mengamuk penuh amarah. Mereka semua tahu bahwa berbicara dengannya sekarang berarti kematian, dan mereka semua lebih suka hidup.
"Bagaimana mereka bisa masuk?" teriaknya membahana membelah langit. "Bagaimana?"
***
"Jadi," kata Citraloka saat dia berdiri di pelataran. Matahari bersinar cerah di langit saat sore tiba.
Dia menatap ketiga begal. "Apakah kalian semua mengerti bagaimana caranya kita bisa masuk?"
Kei mengangguk sementara Burako dan Oloan memandang perempuan penyihir gila itu.
"Kau gila." Oloan membuka mulutnya. "Kau akan membunuh kami semua."
Burako memandang Citraloka, memutar-mutar Bedil Onyx di jarinya, senyum kecil terlihat di bibirnya. "Itu bisa berhasil," katanya.
Kei mengangguk setuju.
Oloan menggelengkan kepalanya. "Kalian bajingan loak. Aku tak mau. Kalian dengarlah omongan kalian itu? Dia merencanakan bunuh diri rame-rame. Dan semuanya untuk apa? Sebilah keris karatan?" Dia berdiri. "Aku tak ikut."
Citraloka menatap Oloan. Matanya memancarkan sinar biru tua. "Kalian semua setuju untuk menjadi bagian dari ini. Kalian semua bersumpah setia. "
"Aku akan mengambilnya kembali," kata Oloan, dagunya terangkat.
"Mungkin kamu tidak tahu siapa saya," kata Citraloka saat dia melangkah ke arahnya.
Oloan maju menghampirinya.
Citraloka berdiri satu kepala lebih tinggi darinya, tetapi Oloan tidak mundur. "Aku sudah pernah berurusan dengan perempuan yang sejenis dengan kau," semburnya. "Kalian tidak istimewa. Kau masih berdarah seperti kami semua. Buktinya kau mengemis minta bantuan kami."
Citraloka memandang Burako yang hanya mengangkat bahu. Dia menoleh ke Oloan dan mengangkat tangan kanannya. "Kamu belum pernah bertemu orang sejenisku. Aku tidak punya jenis."
"Aku pernah melihat--"Â
Kata-kata Oloan terhenti bahkan sebelum Citraloka mengangkat lehernya. Dia telah mengamati komplotan begal itu selama berbulan-bulan. Dia tahu kejahatan yang mereka lakukan. Dia tahu rasa pahit yang tertinggal di mulutnya mengetahui apa yang dia ketahui. Jadi, untuk Oloan dia hanya punya satu pertanyaan: "Kamu mau membantuku atau mati?"
Oloan menatap mata Citraloka, dan apa yang dilihatnya membuatnya ketakutan. Bukan sinar biru yang membuatnya ngeri. Persetan dengan itu. Itu karena dingin yang ditimbulkan, membuatnya bagai terjatuh ke jurang tak berdasar.
Dia melihat di mata penyihir itu hanya ada kegelapan tak berbentuk.
Oloan sadar dia harus menjaga kata-katanya dengan sangat hati-hati.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI