Citraloka menatap Oloan. Matanya memancarkan sinar biru tua. "Kalian semua setuju untuk menjadi bagian dari ini. Kalian semua bersumpah setia. "
"Aku akan mengambilnya kembali," kata Oloan, dagunya terangkat.
"Mungkin kamu tidak tahu siapa saya," kata Citraloka saat dia melangkah ke arahnya.
Oloan maju menghampirinya.
Citraloka berdiri satu kepala lebih tinggi darinya, tetapi Oloan tidak mundur. "Aku sudah pernah berurusan dengan perempuan yang sejenis dengan kau," semburnya. "Kalian tidak istimewa. Kau masih berdarah seperti kami semua. Buktinya kau mengemis minta bantuan kami."
Citraloka memandang Burako yang hanya mengangkat bahu. Dia menoleh ke Oloan dan mengangkat tangan kanannya. "Kamu belum pernah bertemu orang sejenisku. Aku tidak punya jenis."
"Aku pernah melihat--"Â
Kata-kata Oloan terhenti bahkan sebelum Citraloka mengangkat lehernya. Dia telah mengamati komplotan begal itu selama berbulan-bulan. Dia tahu kejahatan yang mereka lakukan. Dia tahu rasa pahit yang tertinggal di mulutnya mengetahui apa yang dia ketahui. Jadi, untuk Oloan dia hanya punya satu pertanyaan: "Kamu mau membantuku atau mati?"
Oloan menatap mata Citraloka, dan apa yang dilihatnya membuatnya ketakutan. Bukan sinar biru yang membuatnya ngeri. Persetan dengan itu. Itu karena dingin yang ditimbulkan, membuatnya bagai terjatuh ke jurang tak berdasar.
Dia melihat di mata penyihir itu hanya ada kegelapan tak berbentuk.
Oloan sadar dia harus menjaga kata-katanya dengan sangat hati-hati.