Joko Seng memeriksa lembaran kertas itu dengan penuh minat, lalu menatapku. "Kamu bilang tidak ada keraguan bahwa pelaut Kuba ini, Diego, meninggal di hotel Marbella di Anyer?" tanyanya.
'Tidak ada keraguan sama sekali. Malam sebelumnya, dia sudah berada di air selama beberapa jam, jangan lupa. Dia meninggal saat sarapan pagi berikutnya. Putri manajer hotel yang menemukannya. Kemudian polisi setempat datang, dan Kapten Ernesto datang kemudian untuk mengambil barang-barang Diego. Dari apa yang kulihat, Diego adalah orang paling mati yang pernah dilihat Anyer.
"Kalau begitu catatan ini pasti berarti sesuatu," kata Joko tegas, "dan Nyonya Ria pasti yang meletakkannya di sana."
"Aku sependapat," kataku. "Tidak ada orang lain yang bisa. Haruskah aku pergi dan berbicara dengannya tentang hal ini?"
"Tidak untuk saat ini," kata Joko. "Aku lebih tertarik dengan Diego. Apakah pada saat kematiannya ada dokter yang hadir?"
"Ya," kataku. "Dr. Nasir Didi. Aku rasa dia yang mengesahkan kematian Diego."
"Apa yang kamu ketahui tentang dokter ini?"
'Tidak banyak. Tampak seperti orang yang sangat menyenangkan. Sekitar lima puluh, tangkas dan ceria, seperti dokter umumnya."
"Sebaiknya kamu pergi dan menemuinya," Joko memutuskan. "Mungkin kamu bisa menggali sesuatu."
***
Aku menempuh perjalanan panjang ke Anyer dengan pikiran yang berkecamuk bingung. Bepergian di jalan pantai yang nyaris sepi ke Cilegon, mencoba meninjau kembali peristiwa beberapa hari terakhir dan orang-orang yang terlibat: David Raja yang telah menghilang tanpa jejak dan sekarang berada di sisi lain hukum, Ratna Dadali aktris yang sayangnya bertunangan dengan seorang pria yang, sejauh yang ku lihat, hanya bisa membawa masalah dan kesedihan, Tuan Syarif dan istrinya yang sifat baik hatinya tidak dapat menyamarkan nuansa kejahatan, Steben Damanik makelar mobil yang entah kenapa membeli mobil dengan harga yang tidak masuk akal dan mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan seorang kapten laut Kuba, Â Diego anak buah kapal yang dinyatakan meninggal tetapi sepertinya masih hidup, Kartika anak perempuan dengan pesona bidadari, yang namanya berarti 'Bintang', yang digumamkan oleh Diego dalam koma beberapa jam sebelum meninggal -- atau tidak.
Aku sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya jalan adalah mengikuti instruksi Joko dan menjaga akal sehatku. Kembali ke Anyer tempat rangkaian peristiwa yang aneh dan mengerikan ini dimulai ...
Danar Hadi menyambutku dengan sangat antusias. Sambil minum di bar, dia berkata, "Kali ini Anda pasti membawa cuaca yang lebih baik. Apakah Anda datang untuk menemui teman Anda itu?"
"Tidak," jawabku, "sebenarnya aku datang untuk berbicara dengan Dr. Nasir Didi."
 "Oh, benarkah?" tanya Danar antusias.
"Aku meneleponnya dari Jakarta. Dia akan datang ke sini sebentar lagi."
Danar mengelap bibir gelas dan memeriksanya dengan seksama. "Banyak dokter spesialis di klinik mewah di Jakarta," katanya. "Rasanya Anda jauh-jauh ke sini bukan untuk berobat."
Dia mendongak saat Dokter Nasir masuk ke bar. "Ah, itu dia orangnya."
Dr. Nasir menyapaku ramah. "Senang bertemu denganmu lagi," katanya.
Aku juga," kataku. "Mau minum apa?"
Dr. Nasir menggelengkan kepalanya. "Terlalu pagi untuk minum, terima kasih. Ada masalah yang sangat mendesak apa yang ingin kamu tanyakan dariku?" dengan senyum berseri-seri padaku dan sangat ramah.
Dr. Nasir tampak begitu tenang dan ramah, sangat mirip dengan gambaran seorang dokter kampung yang ramah, sehingga aku sempat ragu sejenak, sampai aku teringat sesuatu yang Joko ceritakan kepadaku tentang beberapa orang yang bekerja untuknya dan lawannya.
"Tidak cukup hanya memainkan peran," dia berkata, "Kamu harus menjadi orang yang Anda tiru."
Setelah melihat Sambadi dan Bahrum beraksi, aku mengerti maksudnya. Sambadi begitu menyatu dalam penyamarannya sebagai distributor alat pancing yang kumuh hingga dia sangat mungkin memeriksa buku pesanannya setiap malam sebelum tidur. Bahrum sebagai seorang sersan Angkatan Darat hampir pasti sangat ingin dipromosikan menjadi Sersan Mayor.
Merasa agak lebih pintar sekarang, aku berkata, "Aku punya pertanyaan yang agak aneh untuk ditanyakan, Dok. Aku harap Anda tidak akan tersinggung."
"Tenang saja," kata Dokter Nasir sambal tersenyum lebar. "'Setelah dua puluh lima tahun berpraktik umum, aku tak lagi tersinggung karena apa pun juga."
"Dokter ingat Diego, si pelaut Kuba?"
Dr. Nasir tampak terkejut. "Tentu. Bagaimana aku bisa melupakan dia. Mengapa?"
"Aku ada di sini karena dia. Makanya aku bilang ini akan menjadi pertanyaan yang aneh."
Aku ragu-ragu sejenak, lalu bertanya terus terang, "Apakah Diego benar-benar sudah meninggal?"
Dr. Nasir menatapku dengan heran. "Kamu serius?"
Aku mengulangi pertanyaanku.
"Aku dengan apa yang Anda katakan, Tuan Han," balas dr. Nasir, "hanya saja aku tidak mengerti Anda."
"Aku hanya bertanya apakah Diego benar-benar sudah mati," kataku.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H