Dr. Nasir tampak begitu tenang dan ramah, sangat mirip dengan gambaran seorang dokter kampung yang ramah, sehingga aku sempat ragu sejenak, sampai aku teringat sesuatu yang Joko ceritakan kepadaku tentang beberapa orang yang bekerja untuknya dan lawannya.
"Tidak cukup hanya memainkan peran," dia berkata, "Kamu harus menjadi orang yang Anda tiru."
Setelah melihat Sambadi dan Bahrum beraksi, aku mengerti maksudnya. Sambadi begitu menyatu dalam penyamarannya sebagai distributor alat pancing yang kumuh hingga dia sangat mungkin memeriksa buku pesanannya setiap malam sebelum tidur. Bahrum sebagai seorang sersan Angkatan Darat hampir pasti sangat ingin dipromosikan menjadi Sersan Mayor.
Merasa agak lebih pintar sekarang, aku berkata, "Aku punya pertanyaan yang agak aneh untuk ditanyakan, Dok. Aku harap Anda tidak akan tersinggung."
"Tenang saja," kata Dokter Nasir sambal tersenyum lebar. "'Setelah dua puluh lima tahun berpraktik umum, aku tak lagi tersinggung karena apa pun juga."
"Dokter ingat Diego, si pelaut Kuba?"
Dr. Nasir tampak terkejut. "Tentu. Bagaimana aku bisa melupakan dia. Mengapa?"
"Aku ada di sini karena dia. Makanya aku bilang ini akan menjadi pertanyaan yang aneh."
Aku ragu-ragu sejenak, lalu bertanya terus terang, "Apakah Diego benar-benar sudah meninggal?"
Dr. Nasir menatapku dengan heran. "Kamu serius?"
Aku mengulangi pertanyaanku.