Aku memutuskan untuk datang ke kantor Joko Seng. Aku kini menyadari bahwa apa yang dijanjikan sebagai pekerjaan yang menarik, menantang, dan menguntungkan sekarang telah berkembang menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Joko tak dapat dihubungi ketika aku tiba, maka aku mengirim pesansingkat.
Dia berbalik dengan tampang kesal saat aku masuk ke ruangannya.
"Ada apa, Han?" suatranya menuntut dengan penuh rasa ingin tahu. "Sudah kubilang untuk mengubungi Sambadi jika ada sesuatu yang penting. Dia bisa menangani masalah instan apa pun." Tidak ada lagi 'saya' dan 'Anda' sejak aku bergabung dengan departemennya.
"Sambadi tewas," kataku. "Dia dibunuh."
Joko menatapku sejenak tanpa berbicara. Tidak sebanyak kedipan kelopak mata yang mengkhianati emosi apa pun yang berkecamuk di dadanya.
Dia berkata pelan, "Apa yang terjadi?"
Aku berjuang untuk mendapatkan kembali napasku. "Aku dan Samabdi membuat janji untuk bertemu di apartemenku," kataku. Suaraku terdengar aneh, bahkan untuk diriku sendiri. "Ketika aku tiba, dia sudah ada di sana. Dengan pisau di punggungnya."
"Apakah kamu menghubungi polisi?" tanya Joko cepat. 'Tidak, kupikir sebaiknya aku menemuimu lebih dulu."
Joko mengangguk. "Kamu melakukannya dengan benar. Mobilnya kamu bawa?"
"Ya."