Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: II. Baby Blues (Part 1)

1 Oktober 2022   13:30 Diperbarui: 15 Maret 2023   12:40 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untukmu, ya Dewi, kami serahkan impian kami,

Untuk Anda, oh Dewi, kami berikan kepercayaan kami,

Untukmu, ya Dewi, kami serahkan hidup kami.

Bimbing kami, sembuhkan kami, beri kami kekuatanmu.

Kami adalah putrimu, jangan mengecewakan kami saat membutuhkanmu."

- Doa untuk Circe.

Sheira Daniel ditakdirkan untuk bahagia.

Dia punya pekerjaan bagus di Bank Berlian, gajinya melebihi karyawan kebanyakan. Suami yang penuh kasih yang membuatnya bahagia. Dia baru saja melahirkan anak ketiga.

Dia ditakdirkan untuk bahagia.

Setiap liburan tiba, suaminya, Daniel, akan membawa bola dunia dari ruang baca dan meletakkannya di meja makan dan mereka semua akan bergiliran memutarnya. Ke mana pun jari yang mendapat giliran menyentuhnya, mereka akan melakukan perjalanan liburan ke tempat itu. Tahun lalu, putra pertamanya, Adamas, meletakkan jarinya di Spanyol. Perjalanan berempat yang menyenangkan.

Lemma, putrinya, mewakili provinsi dalam kompetisi tenis nasional. Dia berlatih hampir setiap hari. Dan anak bungsunya, Dixie, baru saja pindah dari ASI ke susu formula. Wanita karir, istri dan ibu yang sempurna.

Tetapi tetap saja.

Dia ditakdirkan untuk bahagia.

Ibu mertuanya mencintainya. Ayah mertuanya menyayanginya, mungkin sedikit berlebihan untuk pria seusia itu.

Dia punya sahabat---mungkin kata 'sahabat' kurang tepat---dia memiliki orang-orang yang dia ajak bicara dan bergaul, dengan siapa dia kadang menginap bersama Jumat malam dan bertemu pada hari Sabtu dan Minggu untuk kegiatan sosial atau keagamaan. Hubungan badan dengan Daniel dilakukan secara teratur. Tidak pernah ada masalah dengan seks.

Dia adalah sekretaris klub sosialita di lingkungannya. Seorang aktivis kemanusiaan. Anak-anaknya dekat dengannya. Dia memiliki kehidupan yang diinginkan banyak orang.

Sheira mulai melukai dirinya sendiri setelah melahirkan Henry.

Sepertinya pisau dapur yang tak sengaja berkali-kali melukai siku, tempat di mana mata Daniel tak bisa melihat. Dan ketika siku tak lagi menyisakan ruang, luka-lukanya pindah ke bagian dalam paha. Luka-luka kecil yang berdarah sedikit, setetes dua tetes.

Mereka selalu berhubungan badan dalam kegelapan. Jika dulu merupakan kegiatan yang menyenangkan, kini dia merasa hampa. Hampa, itulah yang dia rasakan. Seperti balon gas yang lepas dari tangan seorang anak, melayang tanpa tujuan atau petunjuk, hanya naik dan terus naik ke udara.

Dia tidak bisa tidur di malam hari dan karena itu, dia mulai minum pil untuk membuatnya terlelap. Dan kemudian dia mulai menelan lebih banyak pil. Dan banyak lagi. Dan makin banyak lagi.

Dan malam-malam ketika pilnya tidak mampu lagi bekerja dan rasa sakit menjalar ke dalam hatinya, dan dia merasakannya menjalar ke seluruh dirinya, dia menangis dalam hati hingga tertidur. Terkadang dia bahkan tidak mampu berdiri dari tempat tidurnya, tetapi dia memaksakan diri harus melakukannya. Atau seseorang akan berpikir ada yang salah, dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan. Orang-orang khawatir.

Dia akan menangis. Dan menangis. Dan menangis.

Ya Tuhan, dia ditakdirkan untuk bahagia.

Tapi tidak. Dia tidak bahagia.

Dan dia tidak tahu kenapa.

Suatu malam, Dixie menangis di boks bayinya dan Daniel menepuknya dengan lesu. Sheira tidak perlu dibangunkan. Dia gampang terbangun akhir-akhir ini. Maka dia bangkit bagai robot dan pergi ke tempat Dixie.

Dia menatap wajah putri bungsunya, wajah polosnya yang cantik. Sheira menangis. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia menangis. Dia berniat untuk membuai Dixie, tetapi kemudian sadar bahwa tangannya memegang bantal.

Untuk apa dia membawa bantal?

Kemudian dia kembali menatap Dixie, sumber kebahagiaannya, yang meratap dan meraung-raung memekakkan telinga. Dia melihat ke bantal dan kemudian ke Dixie.

Dengan kedua tangan, perlahan-lahan dia meletakkan bantal ke muka Dixie dan menahannya sampai tidak terdengar suara tangisan lagi. Dia menghela nafas lega dan tersenyum. Kerut-kerut di dahinya menghilang.

Kemudian dia menjerit dan tersentak menjauh dari baoks, dengan cepat melempar bantal dan ratapan bayi terdengar lagi, dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya.

Apa yang telah dia lakukan? Oh, Tuhan, apa yang dia coba lakukan?

Dia lari bagai dikejar hantu dan naik ke ranjangnya. Daniel masih tidur. Dixie masih menangis.

Awalnya dia ragu-ragu, tapi kemudian mencium pipi Daniel. Mengambil kunci mobilnya dari nakas lalu keluar dari kamar tidur, meninggalkan rumah membiarkan pintu garasi terbuka.

Sebagai manajer cabang Bank Berlian, Sheira memegang semua kunci aset yang belum tentu dipegang oleh direktur sekali pun. Termasuk kunci griya tawang milik perusahaan.

Dari area parkir di basement, Sheira berjalan ke gedung dengan gaun tidur sambil bergumam kepada satpam tentang harus mengambil beberapa surat-surat. Dia menaiki lift menuju lantai teratas.

Dia sampai ke lantai yang dikuasai perusahaan, tapi Sheira terus berjalan. Dia menaiki tangga darurat menuju atap dan berjalan dengan tenang ke pagar besi setinggi pinggang, memanjatnya dan duduk di atasnya.

Dia menyeka wajahnya yang basah.

Dia menangis.

Oh.

Tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan diterpa angin malam.

Bandung tenang di malam hari. Lampu-lampu berkedip dibalik tirai kabut. Tidak ada teriakan, tidak ada klakson yang memekik. Hanya dengungan lembut mesin dan generator. Semua orang tidur. Saat itu jam setengah dua pagi.

Sheira mengayun-ayunkan kakinya sambil menangis. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan, hanya itu. Tidak ada jalan lain. Dia menjadi beban bagi mereka semua, bagi Daniel, bagi Adamas, bagi Lemma, dan bagi Dixie. Mereka akan lebih baik tanpanya. Dia mencengkeram pagar dengan erat, menarik napas dalam-dalam dan---

"Ehm," sebuah suara terdengar di belakangnya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun