Dia akan menangis. Dan menangis. Dan menangis.
Ya Tuhan, dia ditakdirkan untuk bahagia.
Tapi tidak. Dia tidak bahagia.
Dan dia tidak tahu kenapa.
Suatu malam, Dixie menangis di boks bayinya dan Daniel menepuknya dengan lesu. Sheira tidak perlu dibangunkan. Dia gampang terbangun akhir-akhir ini. Maka dia bangkit bagai robot dan pergi ke tempat Dixie.
Dia menatap wajah putri bungsunya, wajah polosnya yang cantik. Sheira menangis. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia menangis. Dia berniat untuk membuai Dixie, tetapi kemudian sadar bahwa tangannya memegang bantal.
Untuk apa dia membawa bantal?
Kemudian dia kembali menatap Dixie, sumber kebahagiaannya, yang meratap dan meraung-raung memekakkan telinga. Dia melihat ke bantal dan kemudian ke Dixie.
Dengan kedua tangan, perlahan-lahan dia meletakkan bantal ke muka Dixie dan menahannya sampai tidak terdengar suara tangisan lagi. Dia menghela nafas lega dan tersenyum. Kerut-kerut di dahinya menghilang.
Kemudian dia menjerit dan tersentak menjauh dari baoks, dengan cepat melempar bantal dan ratapan bayi terdengar lagi, dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya.
Apa yang telah dia lakukan? Oh, Tuhan, apa yang dia coba lakukan?