Aku berbalik menghadap Sambadi. "Jadi itu sebabnya kamu mengambil dompetku."
Sambadi mengangguk. "Aku sudah memeriksa dengan garasi dan menemukan bahwa tiket itu untuk mobil David."
Aku ingat mobil David BMW 532i. David ingin menukarnya dengan Mercedes Benz E63 AMG dan memasukkannya ke dalam pengeluaran untuk keperluan pajak penghasilan, tapi aku berhasil mencegahnya.
"BMW 532i?" tanyaku.
"Benar," kata Sambadi. "Ditinggalkan di garasi dengan kuncinya lebih dari seminggu yang lalu. Awalnya dibiarkan hanya untuk satu malam, kemudian pemilik menelepon garasi untuk mengatakan itu tidak akan diambil selama seminggu atau lebih. Mereka yang di garasi tidak kenal David. Yang jadi pegangan mereka adalash siapa yang memegang tiket. Kamu punya tiketnya maka kamu berhak mengambil mobilnya."
Aku melihat tiketnya. "Begitu," kataku perlahan.
"Teori kami adalah bahwa Diego memiliki tiketnya, untuk berjaga-jaga jika ada yang tidak beres dan David tidak muncul di Anyer."
"Dengan kata lain," Joko menjelaskan, "kami berpikir Diego memiliki perjanjian dengan David jika David tidak muncul, Diego akan datang ke Jelambar dan mengambil mobilnya."
"Dan mobil itu akan membawanya ke David?" aku bertanya.
"Tepat sekali," kata Sambadi.
"Tapi kita mungkin saja salah, tentu saja," tambah Joko. Pengakuan ini sedikit mengejutkanki. Sejauh ini mereka benar dalam segala hal.
"Tampaknya jelas mengapa Diego memiliki tiket," aku mengamati mengamati. Aku melihatnya lagi. "Garasi Jelambar, itu yang besar di dekat pasar, bukan?"
"Betul," jawab Sambadi.
"Nah, aku punya tiketnya, jadi sebaiknya aku mulai dengan mengambil mobil."
Sambadi membawaku menyusuri selasar panjang ke sebuah ruangan kecil. Seorang pria tua berkacamata dan juru tulis duduk di meja, dikelilingi oleh lemari arsip.
"Sore, James," kata Sambadi. "Ini Tuan Handaka Prima. Tambahkan dia ke sistem dan beri dia dua puluh juta untuk biaya operasional. Dia bersama kita, berlaku mulai hari ini."
Pria bernama James mengangguk dan menuju ke brankas. Dari situ dia mengeluarkan seikat uang kertas dan menghitung dua ratus lembar uang kertas seratus ribu. Dia kemudian beralih ke komputernya dan memasukkan nama, alamat, nomor telepon, dan tanggal lahirku.
"Lihat ke kamera," katanya sambil menunjuk kamera saku ke arahku. Dunia menjadi putih selama sepersekian detik, dan kemudian wajahku muncul di layarnya.
"Dokumennya sudah beres," katanya.
Aku meninggalkan Gedung di jalan Sudirman itu dengan perasaan lebih bahagia daripada sebelumnya, sadar bahwa bossku, Joko Seng, menjalankan organisasi yang sangat efisien.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H