Meski bulan purnama bulat bundar kemerahan menyinari desa dengan angin sepoi-sepoi yang sejuk menyebabkan tubuh menggigil, dan bahkan saat nyamuk malam berdengung menusuk-nusuk kulit dan mengisap darah mereka, tak seorang pun penduduk Tudung Tenuk masuk ke gubuk masing-masing untuk berehat setelah pertempuran seharian tadi.Â
Mereka tetap berada di luar kuil pemujaan kecil milik desa, berdoa kepada para dewa untuk pemulihan segera sang pahlawan yang meraung-raung kesakitan saat tabib pandita bekerja tanpa lelah untuk menyembuhkan tulangnya yang patah.
Palupi keluar dari dalam bilik yang berfungsi sebagai ruang rawat dan tersenyum lemah pada kerumunan itu, "Sudah selesai. Dia akan baik-baik saja."
Sebagian besar penduduk desa menghembuskan napas lega dan bersukacita, sementara yang lain menyanyikan puja-puji dan mengucapkan terima kasih kepada para dewa.Â
Anak-anak berlari masuk ke bilik dengan penuh semangat untuk melihat pahlawan mereka yang terluka, tetapi mereka segera keluar dengan bersungut-sungut kecewa karena Resi Umbara mengusir mereka, setelah menjelaskan bahwa Janar perlu istirahat. Tetapi namanya juga anak-anak, kata-kata sang resi hanya masuk lubang telinga tanpa makna dan ditanggapi dengan gerutuan dan desis kesal.
Keti duduk di samping pintu bilik, dan melihat anak-anak keluar. Ketika anak terakhir meninggalkan bilik, dia bergegas masuk ke rumah kecil itu, wajahnya menunjukkan ekspresi sedih saat melihat Janar.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku bersumpah aku baik-baik saja," kata Janar, sambil tersenyum terpaksa.
"Kamu sama sekali tidak terlihat baik-baik saja," jawab Keti.
Resi Umbara terbatuk-batuk.
"Maaf mengganggu, tapi dia perlu istirahat. Saya mengusir anak-anak itu pergi dan Anda tidak terkecuali," katanya kepada Keti.
Janar mengangkat tangannya yang sehat. "Resi, tidak apa-apa. Lenganku yang patah, bukan lidahku."
Keti menahan tawa melihat Resi Umbara menggeleng-kan kepalanya. "Jika terjadi sesuatu, jangan menangis mengiba-iba memohon pada para dewa atau padaku, karena yang Anda butuhkan untuk segera pulih adalah beristirahat, jauh dari segala gangguan."
Resi Umbara menyenandungkan lagu puji-pujian untuk Dewa dan berjalan keluar bilik. Di pintu, dia berdiri dan berbalik, "Anda harus berterima kasih kepada para dewa karena membuat Anda tetap hidup," lalu kembali bersenandung dan menghilang di balik pintu.
"Terima kasih, Batara Wishnu," gumam Janar pelan.
"Kamu berterima kasih kepada dewa?" tanya Keti, sebelah alisnya naik meninggi.
Janar menatapnya bingung. "Aku bersyukur masih hidup. Jadi, ya".
Keti menggelengkan kepalanya. Wajahnya bertambah muram dan kelabu.
"Tidak peduli seberapa banyak kita mencoba menipu diri kita sendiri, sebenarnya kita semua masih hidup karena pria bertopeng itu tidak ingin kita mati. Belum."
Dia menghela napas dengan sedih, "Jika para dewa turun dari atas dan menyelamatkan kita, maka mungkin aku akan berterima kasih kepada mereka. Tapi bukan itu masalahnya.Â
Tidak ada mukjizat atau keajaiban, Aku hampir kalah. Kamu ... kamu hampir mati hari ini, dan ketika aku mendengarmu berteriak seperti itu, rasanya seperti seseorang menusukkan tombak berapi ke dadaku. Aku yakin kita semua merasa seperti itu. Kita benar-benar masih hidup karena belas kasihan pria bertopeng itu, dan itu membuatku sangat ketakutan."
Janar mengulurkan tangannya yang sehat dan membelai wajah gadis itu. "Tapi ada keajaiban. Kita semua masih hidup. Kamu, aku, Ubai, Ganbatar, Palupi, bahkan Resi Umbara. Kita masih bisa bertarung di hari lain."
 Keti mengelus tangan pria itu dan tersenyum lemah. "Ada yang harus kulakukan malam ini".
Janar duduk tegak dengan ekspresi khawatir di wajahnya. "Ada apa?"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H