Awalnya kupikir aku pasti salah lihat, karena ini adalah Sambadi yang sama sekali berbeda. Hilang sudah penjual peralatan pancing yang kumal, jenaka, dan berpakaian lusuh yang kuingat.
Sambadi baru ini tangannya terawatt menggantikan jari-jari yang bernoda nikotin dan kuku yang agak kotor yang pernah kulihat di hotel Marbella. Kumisnya yang acak-acakan telah dipotong dengan presisi Angkatan Sarat. Suara yang sangat halus dan udik sekarang menjadi tajam dan jernih, suara seorang pria yang terbiasa memerintah.
Sambadi Lambo kemudian kuketahui mendapatkan medali kehormatan dalam pembebasan sandera di Papua dan menghabiskan sisa karirnya di salah satu cabang Intelijen Militer yang kurang diketahui umum.
Aku memandang bergantian dari Sambadi ke Joko dengan wajah kosong melompong.
"Saya rasa Anda sudah mengenal Sambadi Lambo," kata Joko. "Dia rekan kerja saya."
Aku berkedip-kedip. "Seorang kolega?"
"Ya. Kami bekerja sama di departemen ini."
Aku menatap Sambadi yang tersenyum padaku.
"Aku tahu. 'Jaring dan benang, kawan'," katanya, dan sekali lagi aku mendengar suara sengau Sambadi Lambo dari Cirebon. Kemudian Sambadi tersenyum lebar.
"Kukira kau pasti mengira aku cukup mengerikan. Aku minta maaf karena harus mendompetmu. Aku harap itu tidak merepotkan."
Aku senyum masam. "Sepertinya tidak," kataku. Aku menoleh ke Joko. "Apakah semua karyawan di sini harus jago mencopet?"
"Ada beberapa yang lebih baik dari raja copet Tanah Abang," Jawab Joko enteng. "Tapi Sambadi adalah pendekar jari seribu dan kalau tidak menjadi agen pemerintah mungkin akan mendirikan Akademi Copet Asia Tenggara dengan dukungan departemen ini."
Dia berubah serius, "Saya berharap Anda berpikir kami tidak bermaksud jahat, Tuan Handaka."
"Aku mengaku bahwa aku agak bingung," kataku. "Tepatnya mengapa mengundangku ke sini sore ini?"
"Kami sudah memberi tahu Anda alasannya," kata Joko pelan. "Kami ingin Anda menemukan David Raja untuk kami."
"Tapi David Raja belum menghilang!" seruku.
Joko mengangkat alis. "Benarkah?" katanya. "Semuanya sepertinya menunjukkan bahwa dia sudah tak pernah muncul lagi di muka bumi." Dia menatapku dengan tatapan dingin.
"Yah," kataku lemah, "maksudku, dia memang baru saja menghilang entah kemana. Tentu saja, kamu tidak mengenal David Raja seperti aku mengenalnya. Hal semacam ini biasa terjadi sepanjang waktu ketika kami berbisnis bersama. Aku memang sering tidak pernah tahu di mana dia. Dia akan muncul cepat atau lambat."
"Kami tidak ingin mendapatkan dia cepat atau lambat," kata Joko dengan tenang. "Kami menginginkan dia sekarang."
"Sudahkah kamu mencoba menemukannya?" tanyaku.
"Belum."
"Mengapa?"
Setelah ragu-ragu sejenak, Joko berkata, "Karena kami tidak ingin membangkitkan perhatian di ... eh ... tempat-tempat tertentu."
"Tapi," aku memotong,"'pertanyaanku akan menarik perhatian di suatu tempat juga."
Joko menggelengkan kepalanya. "Saya tidak mengerti mengapa harus ada yang tertarik dengan Anda yang sedang mencari dia yang menyebabkan bisnis Anda bangkrut dan sekaligus berutang uang cukup besar kepada Anda."
"Yang membuatmu menjadi pria ideal dari sudut pandang kami," sela Sambadi. "Lagi pula, kamu sahabat David. Kamu tahu tempat yang dia kunjungi, kebiasaannya, teman-temannya. Segala sesuatu tentang dia."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H