Sambadi bergidik. "Tidak, terima kasih. Bus berhenti di setiap persimpangan untuk menaikkan penumpang dan akan menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyeberang. Aku seharusnya tidak bertanya.". Dia mengangkat gelas ke arahku. "Bottom up. Ini tempat yang sangat buruk untuk terjebak, tetapi selama minumannya masih ada, aku akan mencoba menikmati yang terbaik dari kondisi yang buruk ini."
Dia mencondongkan tubuh ke depan. "Apa bidang usaha Anda, jika Anda tidak keberatan aku bertanya?" dia bertanya.
"Teknik kelautan," jawabku singkat. Aku benar-benar keberatan dia bertanya. Saya tidak melihat banyak gunanya memberi tahu tokoh ini bahwa aku baru saja bangkrut.
"Teknik kelautan, ya?" ucap Sambadi. "Banyak pekerjaan untuk bidang itu di sini."
Aku mengangguk, tetapi tidak mengatakan apa pun agar tidak membuatnya bertanya lebih lanjut. Untungnya Kirana muncul membawa nampan dengan dengan nasi goreng yang mengepul menyelamatku dari percakapan yang tak kuinginkan. Celana jinsnya yang ketat membungkus bagian bawah pinggangnya saat dia membungkuk untuk meletakkan piring di atas meja.
Dengan tatapan tak berkedip Sambadi melirik Kirana. Aku merasakan darahku naik karena emosi.
"Nasi goreng ini rasanya merangsang lidah," dia berkata sambal mengedipkan mata padaku, tidak menyadari kalau Kirana adalah kekasihku.
Tanpa menyadari apa yang terjadi, Kirana menggelengkan kepalanya. "Saya hanya menambahkan sedikit cabe, bukan yang pedas," katanya.
"Oh, sudah pasti," balas Sambadi.
Aku rasa sejam lagi Bersama Sambadi akan membnuatku naik pitam.
"Faktanya," kataku tidak ingin memberi kesempatan Sambadi mengacau lebih jauh, "Aku sedang kesal. Jauh-jauh dari Jakarta untuk bertemu temanku di sini, dan dia belum muncul."
"Temanmu keterlaluan," kata Sambadi penuh simpati. "Anda pasti sangat kesal."
'Hmm. David Raja tidak pernah peduli pada orang lain," kataku emosi.
Sambadi menyambut nama yang kusebutkan dengan gembira. Ada tipe manusia yang hanya perlu disebutkan nama seseorang dan dia pikir dia mengenalnya. Dia menyebutkan dua David, satu Dave, dan satu Raja secara berurutan.
Suara Kirana memotong kegembiraan Sambadi.
"Ah, Dr. Nasir Didi!" dia berseru. "Bagaimana kondisi pasien kita?"
Kami semua mendongak untuk melihat dokter turun dari tangga. Dr. Nasir berusia sekitar lima puluh tahun, pendek dan botak. Dari ekspresi serius dan khawatir yang khas bagi dokter umum yang bekerja terlalu keras di wilayah-wilayah terpencil.
Dokter memandang kami semua secara bergantian, seolah-olah sangat berharap bahwa kami semua dalam kondisi fisik yang sehat, dan duduk dengan lelah di kursi.
"Ada kabar terbaru, Dokter?" tanya Danar.
'Tidak ada yang baru," kata Dokter Nasir dengan nada lelah. "Hanya menunggu waktu. Merupakan mukjizat jika dia bertahan malam ini."
"Oh, Dokter, tidak adakah yang bisa kita lakukan?" tanya Kirana. Aku bisa melihat dia benar-benar berharap.
"Kami telah melakukan semua yang kami bisa," kata Dr. Nasir dengan suara kalah.
"Apakah dia tidak siuman sama sekali?" tanya Danar.
"Tidak. Saya telah memberinya suntikan dan ... yah, sejujurnya, saya harap dia lebih baik jangan siuman. Dia benar-benar lebih baik dengan kondisi sekarang."
Danar mengangguk mengerti. "Sebaiknya Anda minum untuk menenangkan diri, Dokter," katanya.
"Tentu," kata Dokter. "Secangkir Irish Coffee boleh juga, terima kasih."
Danar menuangkan kopi dari mesin espresso dan mengeluarkan botol kecil. Cangkir dokter mengepulkan uap dan aroma wiski yang menggoda.
"Saya hanya menyesalkan bahwa itu harus terjadi di sini," lanjut Dr. Nasir. Dia tersenyum hangat pada Kirana. "Untung saya dibantu olehmu. Saya tidak bisa memiliki asisten yang lebih profesional, bahkan di rumah sakit."
Kirana menatapku sekilas. "Saya tidak terlalu profesional tadi malam," katanya dengan nada meminta maaf, "Saya merepotkan sampai merepotkan Tuan Handaka."
Dr. Nasir menatapku dengan penuh tanya.
"Aku tidak berbuat banyak. Kirana membangunkanku tadi malam dan memintaku pergi menemui Diego. Dia agak ketakutan. Kupikir dia mungkin akan melakukan kekerasan."
"Saya yang konyol," kata Kirana. "Saya sedang menjaganya sepanjang malam dan tiba-tiba dia membuka matanya dan mulai bicara."
"Dia bisa bahasa Indonesia?" tanya Dr. Nasir.
"Tidak, tidak, dia berbicara bahasa Spanyol," jelas Kirana. "Meskipun bisa saja bahasa Portugis atau Bahasa Italia. Bagaimanapun, saya mengerti kata-katanya dan dia menjadi agak panik, jadi saya meminta bantuan Tuan Handaka."
"Saya mengerti," kata dokter. Dia mengarahkan pandangannya yang cerdas dan tajam ke arahku. "Anda mengerti apa yang dia katakan?"
"Dia tidak mengatakan sesuatu yang masuk akal," kataku. "Dia mengigau, kata-katanya tidak masuk akal sama sekali."
Dr. Nasir tampak terkejut. " Anda berbicara bahasa Spanyol?"
"Sedikit", kataku. "Aku memahaminya lebih baik daripada mengucapkannya. Satu-satunya hal yang masuk akal adalah Diego berulang kali menyebutkan 'Kartika'."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H