Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbang Menuju Pantai

3 September 2022   08:00 Diperbarui: 3 September 2022   08:04 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apakah benda ini bisa terbang? Bagaimana menurutmu, Klif?"

"Nah, Klim, gondolanya sudah penuh dengan pengetahuan, jadi setidaknya akan naik."

"Maksudmu keinginan, kan?"

"Bukan. Pengetahuan. Bukan keinginan. Harapan memang cukup untuk mengangkat purwarupa skala 1/27, tetapi untuk ukuran sebenarnya yang kita perlukan hal-hal yang diketahui, seperti dalam 'tidak ingin karena?' dan seterusnya."

"Oh."

"Kamu pikir bisa mengisinya dengan harapan? Sini, biar aku menyedot keluar gumpalan ... ya, itu pengetahuan. Kualitas bagus juga. Sangat energik. Punya siapa ini?"

"Bibi Nirlogika."

"Bibi Nirlo? Tidak heran Kakak mengira itu adalah keinginan! Aku sama sekali tidak tahu bahwa Bibi Nirlo menginginkan apa-apa!"

Aku merasa kami terangkat dengan lembut.

"Kita berangkat, Klif!"

"Astaga!"

"Jangan ada astaga! Setop! Kita jatuh!"

"-Oh, sia-"

"Jangan ada kata itu juga. Diam, Klif. Berharap, Kak. Berharaplah!"

"Baik."

Dan kami melonjak tinggi. Kami terbang melalui sidik jari-jari fajar yang kemerahan, meluncur pada busur bola-bola sampai kami mendapatkan momentum untuk berpadu mlampaui ke yang berikutnya, dan berikutnya, dan seterusnya. Dan sekarang, kamu jauh melampaui Atlas.

Sangat indah di sini, hitam tanpa cahaya, keduanya cerah. Matahari lain menyanyikan senandung seperti debu ringan yang mengapung dalam arus melengkung. Galaksi mengaum seperti gunung berapi meletus dalam kehampaan, yang tentu saja tidak kosong sama sekali, tetapi berdesak-desakan dengan entitas yang muncul dan keluar dari apa yang kita anggap nyata.

"Klim! Sulit untuk melewati Celah Retak Tepian!"

Aku berbelok begitu tajam. Diri kami ditekan ke dalam ketakutan, tetapi aku mengemudikan kendali dengan lembut dan kami hanya merasakan tarikan dan lepas dari jurang gravitasi yang dalam saat riak gelombang retak yang lesu meluncur ke masa depan kami.

Aku mengarahkan detektor energi kami untuk pertemuan berikutnya.

"Klim? Bukankah kita harus mundur sekarang? Ini cukup jauh untuk putaran pertama. Kamu sudah membuat wahana yang bisa diterbangkan, dan itu pekerjaan yang bagus! Kita bahkan melihat Celah Retak Tepian! Senang terbang ke sana, Dik. Aku tidak sabar untuk memberitahu Ayah."

Aku tidak menjawab. Dia benar-benar tidak tahu. Lebih tua dariku, lebih pintar dariku, dan di rotasi ketiga terbang semesta dia gagal masih untuk paham.

Penyangkalan. Itu dia. Aku bisa merasakannya. Aku ingin membungkus penyangkalan pada seluruh lapisan lingkungan, lengkap dengan sepatu, sarung tangan, masker, dan kacamata. Selimut berbulu halus tebal itu. Akan jauh lebih mudah untuk menidurkan diri kita sendiri ke dalam apapun yang terjadi setelahnya.

"Klif, kamu bisa tahu tentang Ayah sekarang."

"Apa?"

Ayah ingin bersama kita. Itu akan membentuk lambung dan suprastruktur."

"Apa?"

"Keinginan Ibu dan keinginannya juga menjadi penopang hidup kita."

"Apa?"

"Paman Ironik menjadi sistem navigasi."

Klif tidak mempunyai apa-apa lagi yang tersisa.

Kami terus maju. Aku tahu di depan ada pantai terbentang, dan kami harus mencapai pantai. Orang lain juga akan melakukan hal yang sama.

Setelah hening lama, Klif berbisik.

"Kita tidak akan kembali, bukan?"

"Tidak ada kembali, Kak."

"Mereka ... Ibu, Ayah, Bibi Nirlo, Paman Iro, mereka..."

"Memberikan semuanya. Ya. Tidak menyisakan apapun, bahkan tidak cukup untuk moksa. Ini semua dari mereka, di sini, wahana ini."

"Mengapa?"

Supaya kita bisa meluncurkannya."

"Tapi ... tapi proyek wahana ini ... ini adalah yang Ayah kerjakan seumur hidupnya. Inilah yang akan menyelamatkan kita semua. Itu rencananya."

"Ya. Sampai data Andersen-Grimm menunjukkan hal lain."

"Tunggu! Itu hanya...."

Kami berlayar untuk setidaknya nyanyian angsa dan dongeng api unggun sebelum Klim bicara lagi.

"Jasad kita ... seharus tak bisa menembus bidang A-G."

"Kamu benar, Klif."

"Tapi kita berhasil lolos."

"Ya."

"Jadi kita tidak... kita...."

"Ya."

Aku tidak tahu letak pantai atau seberapa cepat kami bergerak. Tapi tidak ada kembali.

Hanya ada satu arah, yaitu maju.

Bandung, 3 September 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun