Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 15)

1 September 2022   18:42 Diperbarui: 1 September 2022   18:44 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Lelaki di belakang bocah perempuan itu tertawa terbahak-bahak. Kelihatannya, dia merupakan pemimpin para begundal yang mengepung Keti.

"Perempuan, kau tidak seperti yang kuharapkan. Dari cara dia bercerita tentang dirimu, aku membayangkan seorang wanita setinggi pria dengan bekas luka di wajahnya dan golok besar di tangan."

Kemudian dia menatap si gadis kecil, mengencangkan cengkeramannya di leher si bocah dan mengguncangnya dengan keras. "Jangan bilang kamu salah orang."

Gadis kecil itu mengerang kesakitan, "Tidak. Sumpah, ini yang namanya Keti."

Lelaki itu kembali menatap Keti, seakan tak percaya wanita mungil di depannya itu yang telah memorakporandakan pasukan kerajaan.

"Aku pikir tadinya akan mendapat lawan tanding yang setara, karena belum pernah melihat seorang wanita berkelahi seperti yang dia katakan. Aku menyukai tentangan dari lawan yang sepadan. Tentu bukan dengan yang ini," katanya kecewa sambil menuding Keti.

Lelaki di belakang Keti tertawa sambil menjilat bibir. "Ongko, kita bisa menghibur dia sdikit. Kamu tahu," dia berkata sambil mengedipkan mata memajukan pantatnya yang disambut tawa dan anggukan setuju dari rekan-rekannya.

"Lakukan saja apa yang kalian mau, anak-anak," kata lelaki yang dipanggil Ongko sambil duduk santai di atas batu.

Pria di belakang Keti memegang bahu gadis begal itu. Secepat kilat tangannya mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu itu dengan erat dan menariknya ke depan hingga terhuyung maju. Satu gerakan yang yang nyaris tak terlhat saking cepatnya, Keti mencabut keris dari bawah ketiaknya. Jeritan pria itu tak lebih dari setarikan napas saat keris Keti menusuk tenggorokannya.

Degup jantung berikutnya pria yang tadinya sangat bernafsu untuk menikmati tubuh Keti terbaring di tanah dengan napas terengah-engah, lalu mati dengan mata terbelalak ngeri.

Sebelum yang lain bisa bereaksi, Keti mengirim keris keduanya terbang langsung ke pria di sebelah kirinya. Pria itu dengan lincah berkelit ke kanan, menghindari keris terbang dengan mudah. Keti tersenyum. Selalu saja mereka jatuh karena tipuan yang sama. Dia melompat ke kiri, pedangnya terhunus dan dia menerjangnya.

"Awas, tolol!" teriak Ongko, terkejut dengan kecepatan dan kelincahan Keti.

Peringatan itu sungguh terlambat. Leher pria itu terpenggal dalam satu sabetan pedang. Tubuhnya ambruk dan kepalanya menggelinding ke dalam semak-semak sejauh tujuh langkah dari badannya.

Dua begundal yang tersisa menerjang Keti dengan golok namun gagal. Dengan anggun Keti menari menghindari serangan mereka.

Ongko si pemimpin yang dipenuhi dengan kemarahan, menghunus pedangnya dan berjingkat diam-diam mencari celah.

Penyerang pertama mengayunkan goloknya membabi buta, mengamuk karena ketidakmampuannya menebas Keti. "Diam! Jangan menghindar!" teriaknya marah. Penyerang kedua melangkah mundur, tidak ingin terbabat oleh amukan golok temannya. 

Dia menunggu dengan sabar menanti kesempatannya untuk menyerang. Betapa terkejutnya dia ketika Keti merunduk di bawah ayunan golok liar penyerang pertama dan meluncur ke arahnya secara tak terduga. Saking terkejutnya kakinya menjadi lumpuh.

"Hwarakadah!" seruan sambil mengangkat golok untuk menangkis serangan pedang Keti. Namun Keti mendadak berlutut dan dengan gesit menebas perut buncit yang telanjang. Pria itu terhuyung-huyung, tangannya menahan ususnya yang terburai.

Penyerang pertama meraung frustrasi meyaksikan kematian temannya dan semakin kalap mengayunkan golok. Keti memasang kuda-kuda, tangannya mencengkeram gagang pedangnya erat-erat, mengantisipasi langkah musuhnya.

Saat itulah dia merasakan sebuah pukulan di bagian belakang kepalanya. Dia jatuh berlutut dengan pandangan berkunag-kunang. Saat dia mendongak untuk melihat sekilas siapa yang menyerangnya, kepalanya ditendang dan diinjak ke tanah. Terdengar gelak tawa mengejek.

"Bajingan, kau membunuh anak buahku!" Ongko memaki dan meludahi wajah Keti. Begal wanita itu mengutuk dirinya sendiri karena ceroboh. Terlalu fokus dengan pertarungannya, dia lupa tentang pemimpin mereka.

"Dia benar. Kau penuh kejutan," sambung Ongko sambil menendang tulang rusuk Keti, membuat wanita mungil itu berteriak kesakitan. Sambil memegangi dadanya, dia merangkak hendak meraih pedangnya, tapi penyerang pertama menendang senjata itu menjauh dari jangkauannya.

"Ongko, biarkan aku yang membunuhnya," katanya. Pemimpin kelompok begundal yang kehilangan tiga dari empat anak buahnya itu mengangguk sambil kembali meludahi Keti.

Dengan seringai di wajahnya, penyerang kedua mengangkat goloknya tinggi-tinggi, bersiap untuk memenggal kepala Keti. Saat dia membungkuk untuk menebas, sebatang anak panah menembus perutnya. 

Goloknya terlepas dari tangannya tanpa sempat menyentuh kulit Keti, dan dia memegang pangkal anak panah yang menembus perutnya dengan tatapan yang sukar diartikan. Tubuhnya berputar dalam gerak lambat dan hal terakhir yang dia lihat adalah seorang lelaki mengayunkan pedang ke arah leharnya.

Janar melompati pria itu bahkan sebelum tubuhnya menyentuh tanah dan menyerang Ongko. Dia menerjang lawannya dengan membacokkan pedangnya dari atas kepala. Ongko menangkis serangan pedang Janar, dan terkejut ketika menyadari pedangnya hampir terlepas dan tangannya begetar kesemutan.

Dipenuhi amarah yang memuncak, Janar mengayunkan dan menusukkan pedangnya secara beruntun, mendesak lawannya ke belakang yang kewalahan menangkis serangan pedang Janar.

Tiba-tiba terdengar suara suitan dan Janar mendadak berjongkok, memelototi Ongko dengan penuh kebencian.

Pemimpin kelompok yang kehilangan semua anak buahnya itu keheranan menatap Janar. Mengapa dia berjongkok? Apakah dia terkena sakit pinggang karena terlalu memaksakan diri dengan semua jurus itu? Sudahlah, ini kesempatanku, pikirnya sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala dengan senyum kemenangan tersungging di bibirnya.

Bibirnya masih belum sepenuhnya membentuk senyum sempurna ketika Palupi mengirim anak panah berikutnya tepat ke dahinya, menembus tengkorak hingga ke bagian belakang kepala.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun