Dan mungkin itu sebabnya kamu melakukannya. Untuk menyelamatkan kita berdua dari rasa sakit.
Api bermula di ruang tamu, tempat lilin memenuhi rak, melapisi dinding, dan tumpah ke lantai di tempat lilin tertanam dalam cangkir teh. Aromamu yang membangunkanku, teh dan jahe.
Berbalik, aku menangkap tatapanmu di cermin meja rias. Apakah kamu menangis? Atau tertawa? Aku tidak tahu. Dan kemudian alarm berbunyi, dan hanya aku sendiri lagi. Aku bergegas untuk menangkap kucing itu, hanya dia dan buku catatan kita sebelum aku berdiri di luar, mengawasi api. Petugas pemadam kebakaran melakukan yang terbaik, tetapi kamu bertekad sungguh. Kobaran api, menyala terang sebagai kenangan, hingga rumah tak lebih dari sekam yang menghitam.
Kamu berada di dalam asap. Aku melihat bentuk lenganmu, lekuk pinggulmu. Aku melihat matamu, menatap ke atas. Penampakan jalan cahaya. Cerah dan bersemangat dan tidak meninggalkan apa pun selain tanah hangus.
Setelah api padam dan penonton terakhir pergi, aku menatap ruang kosong di mana kamu tak lagi berada.
Ini adalah pesan. Ini aku mencintaimu ditulis dalam api. Aku meninggalkan buku catatan kita di abu. Dengan begitu, kamu akan tahu bahwa aku mendengar.
Bandung, 28 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H