Aku terbangun pukul delapan dan berbaring di ranjang, mendengarkan deru angin kencang di luar. Seprai di sebelahku kusut tapi kosong.
Aku turun untuk sarapan dan berharap bertemu Kirana, tapi dia tidak terlihat. Merasa perlu menghirup udara segar, aku memutuskan untuk menantang badai dan pergi keluar. Untungnya kecepatan angin sudah berkurang, meskipun masih sangat dingin. Langit hitam yang semakin rendah memberi tanda bahwa badai belum sepenuhnya reda.
Saat berjalan menyusuri jalan sempit menuju pelabuhan, aku memutuskan untuk memberi David Raja satu hari lagi, siapa tahu terjadi sesuatu padanya, dan agar aku bisa bersama Kirana lebih lama lagi.
Aku merasa semakin kesal dengan apa yang terjadi dengan David. Jika, seperti yang tampaknya sangat mungkin, dia tidak muncul, aku akan menghabiskan waktu setengah hari perjalanan yang tak menyenangkan kembali ke Jakarta. Satu hari mengemudi dan dua malam di sebuah desa nelayan kecil yang suram di antah berantah, dan tidak ada yang menguntungan yang kudapatkan---kecuali Kirana.Â
Ketika aku berbalik dari rawa-rawa payau dengan angin berkesiut di telingaku, aku mengutuk David Raja dengan sumpah serapah dalam berbagai bahasa yang kuketahui.
Malam itu aku duduk di bar restoran yang sepi, kecuali empat orang nelayan yang sedang bermain kartu di pojok. Angin kembali mara dan melolong dengan menderu kencang. Aku menghabiskan gelasku dan menyerahkannya kepada Danar Hadi untuk diisi ulang.
"Badai belum juga reda ternyata," katanya.
"Tentu saja tidak," kataku. "Meskipun tidak sekencang tadi pagi. Aku rasa badai akan segera menjauh."
"Ah!" Danar berseru. "Tak segampang itu, sobat."Â
Terdengar bunyi jendela berderak dan pemiliknya memelototinya dengan tampang muram.