Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 5)

10 Agustus 2022   14:12 Diperbarui: 10 Agustus 2022   14:43 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku terbangun pukul delapan dan berbaring di ranjang, mendengarkan deru angin kencang di luar. Seprai di sebelahku kusut tapi kosong.

Aku turun untuk sarapan dan berharap bertemu Kirana, tapi dia tidak terlihat. Merasa perlu menghirup udara segar, aku memutuskan untuk menantang badai dan pergi keluar. Untungnya kecepatan angin sudah berkurang, meskipun masih sangat dingin. Langit hitam yang semakin rendah memberi tanda bahwa badai belum sepenuhnya reda.

Saat berjalan menyusuri jalan sempit menuju pelabuhan, aku memutuskan untuk memberi David Raja satu hari lagi, siapa tahu terjadi sesuatu padanya, dan agar aku bisa bersama Kirana lebih lama lagi.

Aku merasa semakin kesal dengan apa yang terjadi dengan David. Jika, seperti yang tampaknya sangat mungkin, dia tidak muncul, aku akan menghabiskan waktu setengah hari perjalanan yang tak menyenangkan kembali ke Jakarta. Satu hari mengemudi dan dua malam di sebuah desa nelayan kecil yang suram di antah berantah, dan tidak ada yang menguntungan yang kudapatkan---kecuali Kirana. 

Ketika aku berbalik dari rawa-rawa payau dengan angin berkesiut di telingaku, aku mengutuk David Raja dengan sumpah serapah dalam berbagai bahasa yang kuketahui.

Malam itu aku duduk di bar restoran yang sepi, kecuali empat orang nelayan yang sedang bermain kartu di pojok. Angin kembali mara dan melolong dengan menderu kencang. Aku menghabiskan gelasku dan menyerahkannya kepada Danar Hadi untuk diisi ulang.

"Badai belum juga reda ternyata," katanya.

"Tentu saja tidak," kataku. "Meskipun tidak sekencang tadi pagi. Aku rasa badai akan segera menjauh."

"Ah!" Danar berseru. "Tak segampang itu, sobat." 

Terdengar bunyi jendela berderak dan pemiliknya memelototinya dengan tampang muram.

"Dasar sial," makinya entah ditujukan ke apa atau siapa.

Pintu bar terbuka, membiarkan angin dingin menerobos masuk. Seorang pria masuk dengan napas terengah-engah dan berdiri sejenak. Sosoknya biasa saja, sama sekali tidak mengesankan. 

Usianya mungkin sekitar lima puluh tahun, dengan dagu yang runcing dan kumis yang berantakan. Tetesan air hujan menetes dari topinya, dan jas hujannya yang lusuh membuatnya tampak seperti bungkusan kertas cokelat yang diikat dengan serampangan.

Dia melepas topinya, memperlihatkan rambut pendek tipis. warna yang sama dengan kumisnya tetapi dengan lebih banyak uban. Kopernya --- koper usang dan tas kerja dengan satu tali putus --- melengkapi pemandangan yang basah kuyup itu. Dia tampak lelah dan anehnya, menyedihkan.

"Ya, Tuhan," dia berkata. "Cuacanya benar-benar di luar prediksi!" Suaranya bernada tinggi, sangat halus, dan sengau.

Danar membungkuk di atas bar, posturnya kembali menunjukkan sambutan profesional. "Selamat malam, pak."

"Rasanya malam ini tak pantas mendapat ucapan selamat," balas pria itu murung. "Anda pengelola hotel?"

"Benar, Pak. Saya Danar. Dan apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun