Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 12)

4 Agustus 2022   22:03 Diperbarui: 4 Agustus 2022   22:04 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Ah! Lihat mereka menggeliat seperti cacing tanah. Itulah akibatnya mencoba melawan para dewa," pandita tabib Resi Umbara tertawa."Lihat yang ini", katanya sambil menunjuk seorang prajurit yang menggeliat berusaha melepaskan tangan dan kakinya yang terikat. "Masih mau coba-coba melawan? Seharusnya kalian malu, malu semalu-malunya."

Dia berbalik dan mencibir pada para prajurit yang tidak berdaya yang diikat ke beberapa tonggak di alun-alun desa "Kalian semua dipermalukan, ditaklukkan seorang wanita. Saya yakin kalian pasti terkejut terkaget-kaget. Bagaimana mungkin seorang perempuan kecil mungil berbadan langsing halus lebut lemah gemulai bisa melakukan ini? Haruskah saya membuka rahasianya kepada kalian?" dia berkata penuh semangat sambil tersenyum lebar.

"Karena dia adalah juara utusan para dewa-dewi. Para dewa memberikan kehendak mereka melalui dia. Pada dewi merasukinya dan menguasai tubuhnya, memberinya kekuatan dan kecepatan yang tak terukur!" seru si dukun pembuat ramuan sambil membentangkan tangannya ke langit.

"Aku yakin tidak ada dewa yang berani merasuk atau menguasai tubuhku. Aku yang memegang kendali penuh atas diriku sendiri, dukun," Keti mendesis. Alisnya melengkung ke atas bagai sepasang golok kembar.

"Resi, jangan lupakan aku," Ganbatar memukul dadanya. "Sayang kita datang terlambat. Kalau saja kita lebih cepat, aku akan mengalahkan mereka semua sendirian."

"Saya yakin Anda akan mendapatkan kesempatan itu, Raksasa. Kali ini para dewa melakukannya karena mereka ingin menunjukkan bahwa mereka untuk menyelesaikan pekerjaan yang ini tidak membutuhkan dua atau lebih pelayan mereka untuk melakukannya. Tidakkah kamu melihat betapa hebatnya mereka? Mereka hanya menggunakan Suketi untuk menaklukkan sebagian besar musuh kita. Bagaimana mungkin seorang wanita kecil mungil kurus langsing lemah gemulai seukurannya bisa mengalahkan pria-pria kekar seperti mereka. Hanya para dewa yang bisa melakukannya!" seru si resi tukang obat.

Ganbatar mengangguk setuju "Hmm... kamu benar, pandita."

Penduduk desa yang selamat berlutut dengan tangan terangkat ke udara sambil ikut melantunkan doa berterima kasih kepada para dewa atas belas kasihan dan perlindungan mereka, mengikuti Resi Umbara.

Keti menggelengkan kepala dan memunggungi mereka.

"Aku juga harus mengakui bahwa sebenarnya berharap kita tiba tepat waktu. Aku merindukan pertarungan. Tadi aku hanya menghadapi tiga orang dan mereka tidak banyak melakukan perlawanan," kata Ubai dengan wajah muram.

"Jangan khawatir, kita akan menemukan lebih banyak lagi dalam perjalanan nanti." Palupi tersenyum hambar.

Janar menggelengkan kepalanya sambil dia menyeka darah dari pedangnya, "Kalian benar-benar aneh. Lebih aneh lagi ternyata kita bermitra."

Warga desa menusuk-nusuk prajurit yang terikat dengan ranting. Anak-anak kecil tak mau kehilangan kesempatan, bersorak-sorai sambil melemparkan batu kerikil ke wajah musuh desa mereka.

"Kalian melawan titah baginda raja. Ini pelanggaran terhadap mahkota. Lepaskan kami segera dan kami akan membuat kematian kalian dengan cepat tanpa harus menderita berlama-lama!" kata seorang prajurit.

Resi Umbara membungkuk ke arah pria itu dan menampar wajahnya, "Kalian pikir sehebat apa Baginda Raja dibandingkan para dewa?"

"Orang tua, kamu tidak mengerti. Raja bermaksud baik. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rakyat. Mengorbankan beberapa gelintir untuk menyelamatkan lebih banyak agi rakyat. Itu adalah persembahan kepada para dewa dan kita harus mematuhinya," kata prajurit itu sambil mendelik.

"Kehendak para dewa," Resi Umbara meludahi pria itu, "Raja mengacaukan kehendak para dewa dengan kegilaannya sendiri".

"Minggir! Minggir!" sebuah suara yang dalam terdengar dari arah utara alun-alun. Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian mewah, mengangkat kain tenun prada di atas bahunya. Dua orang kuli mengekor di belakangnya membawa keranjang penuh perhiasan dan kain tenun berwarna ungu.

Pria itu mendekati para begal dan melontarkan senyum seperti dipaksakan. "Saya Marah Talang, satu-satunya saudagar di desa ini. Saya juga memiliki sanggar tenun kain yang terkenal sampai Champa," bualnya. "Sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan penduduk desa, dan juga sanggar saya saya dari para candala ini." Dia menunjuk para prajurit yang dibelenggu dengan tampang jijik.

Janar melangkah maju, "Terima kasih atas hadiahmu tapi---"

Ganbatar mendorongnya ke samping dan terbatuk. "Sebagai pemimpin rombongan ini---"

Janar mengangkat alis bingung. "Siapa yang menjadikanmu pemimpin?"

Ganbatar memutar matanya. "Aku yang paling besar dan paling tinggi," katanya sambil mengedutkan otot lengan, "dan jelas yang terkuat."

Dia kembali mengalihkan perhatiannya ke Marah Talang, "Aku menerima hadiah kau atas nama rombongan kami."

Ubai mengerutkan kening. "Apa yang kita akan lakukan dengan semua itu? Kita selalu di jalan. Barang-barang ini hanya akan menjadi beban yang memberatkan kuda-luda saja."

Ganbatar mengangguk-angguk, lalu merenung sejenak.

"Baiklah. Aku akan kembali setelah tugas mulia kita selesai dan mengambil hadiahku."

Marah Talang membungkuk "Tentu saja".

Palupi mendesis dan mendorong Ganbatar ke samping. "Yang benar-benar kita butuhkan sekarang adalah makan dan tikar lapik untuk tidur".

 "Kalian semua dipersilakan untuk bermalam di rumahku. Ikutlah denganku," kata Marah Talang melambaikan tangan para begal, lalu berjalan ke arah utara alun-alun menuju ke rumahnya.

Kerumunan warga yang melongo ikut bergerak bersama mereka ke rumah Marah Talang. Saudagar itu berbalik dan melirik kerumunan yang mendekat.

"Kalian pikir kalian mau ke mana, petani? Rumahku bukan bagian dari alun-alun desa".

Kerumunan yang tersisa membubarkan diri ke berbagai penjuru sambil menggerutu.

"Tunggu, bagaimana dengan para prajurit? Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?" tanya Keti.

"Jangan khawatir, serahkan itu padaku. Ada sebuah gua tidak jauh dari desa. Budak-budakku akan mengurung mereka di sana. Mereka akan menderita kelaparan tanpa harapan untuk melarikan diri. Mungkin macan atau beruang akan membantu mengakhiri penderitaan mereka."

"Aku dan Ubai akan menanyai mereka nanti untuk melihat apakah kita bisa mendapat sesuatu yang berharga," kata Janar.

"Bagus. Kalian mendapat izinku," kata Ganbatar. Yang lain melotot ke arahnya.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun