Janar mengangkat alis bingung. "Siapa yang menjadikanmu pemimpin?"
Ganbatar memutar matanya. "Aku yang paling besar dan paling tinggi," katanya sambil mengedutkan otot lengan, "dan jelas yang terkuat."
Dia kembali mengalihkan perhatiannya ke Marah Talang, "Aku menerima hadiah kau atas nama rombongan kami."
Ubai mengerutkan kening. "Apa yang kita akan lakukan dengan semua itu? Kita selalu di jalan. Barang-barang ini hanya akan menjadi beban yang memberatkan kuda-luda saja."
Ganbatar mengangguk-angguk, lalu merenung sejenak.
"Baiklah. Aku akan kembali setelah tugas mulia kita selesai dan mengambil hadiahku."
Marah Talang membungkuk "Tentu saja".
Palupi mendesis dan mendorong Ganbatar ke samping. "Yang benar-benar kita butuhkan sekarang adalah makan dan tikar lapik untuk tidur".
 "Kalian semua dipersilakan untuk bermalam di rumahku. Ikutlah denganku," kata Marah Talang melambaikan tangan para begal, lalu berjalan ke arah utara alun-alun menuju ke rumahnya.
Kerumunan warga yang melongo ikut bergerak bersama mereka ke rumah Marah Talang. Saudagar itu berbalik dan melirik kerumunan yang mendekat.
"Kalian pikir kalian mau ke mana, petani? Rumahku bukan bagian dari alun-alun desa".