Perpustakaan terbuka dengan semua hal baik yang ada padanya. Sejauh ini, hanya ada dua ekor lalat yang masuk pagi itu.
Kamu tahu hampir tidak ada gunanya bagimu untuk membuka kunci pintu depan dan mengubah tanda di jendela menjadi BUKA, tetapi kamu menemukan kenyamanan dalam rutinitas, meskipun kamu menghabiskan sebagian besar waktumu di luar ruangan.
Taman Pembaca Ramah Anak lebih subur---dan lebih penting---dari sebelumnya. Meski tak ada anak-anak yang mampir hari ini.
Kota ini hanya didiami oleh kurang dari seribu manusia, dan seiring dengan berlalunya pekan, semakin banyak orang yang berhamburan pergi dibawa angin. Banyak desas-desus tentang kota-kota yang masih memiliki listrik dan infrastruktur yang stabil. Juga kota-kota lain yang situasinya jauh, jauh lebih buruk.
Kamu telah bergelut dengan keinginan untuk melakukan perjalanan ke utara seorang diri, ke keluarga adik perempuanmu. Namun siapa yang akan memelihara taman? Siapa yang akan membawakan buku bacaan berikut sayur dan buah segar ke panti jompo di Jalan Veteran?
Kamu senang merasa dibutuhkan. Namun mungkin adikmu juga membutuhkanmu.
Kamu menenteng ember plastik untuk menyiram tanaman tomat dan kecipir dengan air yang diciduk dari got.
Bunyi langkah sepatu di jalan kerikil di belakangmu membuatmu berbalik. Tanganmu meraba gagang pisau belati yang disarungkan di pinggangmu.
Seorang pria berdiri di sana. Kulitnya yang kecokelatan berkilau basah oleh keringat. Debu membuat pakaiannya berwarna cokelat. Dia memegang ransel dengan kedua tangan.
"Maaf. Apakah perpustakaan buka?" Dia bertanya. "Saya melihat ke dalam, tetapi saya tidak melihat seorang pun."