Palupi menghela napas.
"Kenangan masa kecilku tak banyak. Yang paling kuingat adalah ambu dengan kaki terentang seperti sayap rajawali, mencengkeram punggung seorang pria yang menghimpitnya.
Aku tidak mengerti apa-apa saat itu. Aku hanya seorang gadis kecil. Yang Aku tahu, setiap malam, selalu da laki-laki yang datang ke gubuk kami dan ambu dengan kaki terentang seperti kepak sayap rajawali ,dan pria itu melakukan gerakan-gerakan aneh di atasnya. Sebelum pulang, para pria itu akan memberikan ambu perhiasan, pakaian, makanan, dan kadang-kadang tuak.
Waktu itu, aku menganggap pemandangan itu lucu dan sering tertawa dibuatnya. Aku bahkan bangga karena aku percaya ambu adalah orang yang tenar karna banyak orang yang bertamu ke gubuk kami setiap malam.
Kamu seharusnya melihat wajahku ketika anak-anak lain mengejek dan mengata-ngatai bahwa ambu adalah perempuan jalang, ganika, sundel. Awalnya aku tak tahu arti kata-kata itu, tetapi mereka berhasil menjelaskannya padaku. Sejak hari itu, rasa hormatku untuk ambu pupus. Lenyap. Perempuan yang sangat aku hormati. Perempuan yang kujadikan panutan hidupku tidak lain hanyalah seorang pelacur.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin tak tahan dengan ejekan dan tatapan menghina yang dilontarkan penduduk desa kepada kami setiap kali kami berada di luar gubuk. Akhirnya, seorang saudagar yang tampan dan kaya mengunjungi desa kami. Dia mengajakku, maka aku minggat bersamanya dari desa, dari rumah, dari ambu, dengan keyakinan bahwa aku dapat membangun hidup yang lebih baik daripada kehidupan ambu yang memalukan.
Keyakinanku lenyap ketika saudagar yang menjadi kekasihku itu mencoba menjualku di tempat pelacuran. Aku berusaha melarikan diri tapi berhasil ditangkap lagi. Untung saja, dalam perjalanan kembali, gerombolan perampok menghadang dan mereka menjadikan sebagai anggota mereka, alih-alih membiarkan aku mati kelaparan di wilayah yang sama sekali asing bagiku.
Butuh waktu dua windu untuk menyadari bahwa hidup tidak lain adalah perjalanan yang penuh perjuangan. Untuk menghidupiku, ambu mencampakkan martabat dan harga dirinya, hanya untuk memberi makan mulutku. Dulu aku tidak mengerti semua itu, tetapi sekarang aku melihat diriku dan pemahamanku terbuka. Mengapa aku menjadi begini? Mengapa aku menjadi perampok?
Aku melakukannya untuk bertahan hidup. Hal yang sama mengapa ambu memilih untuk menjadi ganika. Mungkin karena ambu tidak memiliki bakat atau keterampilan dan itu pilihan terakhirnya. Dia melakukannya, dengan menanggung aib dan penghinaan, karena dia melakukannya untukku."
Keti melangkah mendekat dan menarik Palupi ke dalam pelukannya. "Maafkan aku."
Palupi tersenyum dan menghapus air mata dari pipinya, balas memeluk Keti.
"Nah, itulah aku. Giliran---" mendadak dia terdiam dan menatap ke langit di belakang Keti.
Keti berbalik dan matanya melebar saat dia melihat asap hitam membumbung tinggi di udara,
"Asap itu dari pinggir desa. Pasukan kerajaan ada di sini".
Palupi dan Keti bergegas keluar dari air dan buru-buru mengenakan kembali pakaian mereka.
"Kita harus memberitahu yang lain," kata Palupi.
"Pergilah, temui aku di sana," kata Keti sambil melompat ke punggung kudanya.
"Kamu gila? Pasti banyak prajurit kerajaan di sana. Jangan menghadapi mereka sendirian tanpa bantuan."
Keti menyeringai lebar. "Lawannya banyak? Hmm, kamu akan lihat mengapa mereka menyebutku Rubah Betina." Tumit Keti menendang rusuk kudanya dan keduanya melaju menuju asal asap.
Keti memacu kudanya sekencang-kencangnya, ketika penduduk desa yang ketakutan berlari melawan arahnya berteriak minta tolong. Menampak seorang prajurit kerajaan sejauh dua belas tombak, Keti melepaskan anak panahnya yang membidik kaki prajurit tersebut katrena dia ingat kata-kata Rakyan Gardapati untuk hanya melumpuhkan mereka. Dia melepaskan anak panah, membuat si parjurit jatuh berlutut dan menjatuhkan pedang ke sampingnya.
Keti melompat turun dari kudanya dan berlari menuju gubuk yang terbakar. Matanya beradu pandang dengan prajurit yang melihatnya datang, Keti mencondongkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari ayunan pedang yang mengarah ke lehernya. Secepatnya tubuhnya kembali condong ke depan, kepalannya yang mungil namun bertenaga menghantam dagu di prajurit. Pria itu terhuyung mundur dengan linglung. Keti menghunus pedangnya dan menetak wajahnya dengan bagian tumpul pedang.
Dua prajurit lain melompati rekan mereka yang tidak sadarkan diri dan menerjangnya. Berkelit dari pukulan mereka dengan keanggunan seekor kucing, dia mengayunkan pedangnya melukai paha prajurit pertama dan gagang pedangnya mengetuk pelipis prajurit kedua.
Seorang prajurit berlari ke arahnya dan berhenti ketika dia melihat rekan-rekannya yang bergelimpangan meringis kesakitan. Dia mengatupkan giginya dan berteriak keras. Bahu Keti bergerak sedikit, tangannya mematuk bagai ular saat dia melemparkan belati ke bahunya.
Prajurit itu memiringkan badannya ke kanan, menghindari keris terbang. Wajahnya tersenyum mengejek. Senyum itu menjadi seringai kesakitan ketika Keti miring ke kiri. Ternyata menemukan keris itu hanya umpan. Dia gagal mengelak tepat waktu ketika Keti mengantar gagang pedang ke dagunya, membuatnya terhuyung dan jatuh berdebam tak sadarkan diri.
Keti masih menatap prajurit itu dengan senyum kemenangan, ketika sebuah panah berdesing di samping telinganya, hanya berjarak dua jari dari wajahnya. Keti mendongak kaget mencari asal anak panah itu datang dan melihat seorang pria bertopeng berdiri di sebuah gubuk dengan busur di tangannya.
Dengan wajah merah membara karena amarah, Keti mencabut anak panah dari punggungnya dan memasangnya di tali busur dan meregangkannya selebar jangkauan kedua tangan---semua dilakukannya dalam sekejap mata---membidikkannya ke pria bertopeng itu.
Seorang prajurit berteriak dari kirinya dengan tombak di tangan saat sambil menyerbu ke arahnya. Dalam sekelebat saja, Keti mengubah sasaran anak panahnya ke prajurit itu dan melepaskan panah ke selangkangannya.
Pria itu memekik dan tangannya mengatup celah ke dua kakinya dan tersandung jatuh tengkurap ke tanah.
Keti mendongak untuk memanah pria bertopeng dengan anak panah baru di tangannya. Dia terkejut, pria bertopeng itu tak lagi berada di tempatnya berdiri barusan tadi.
Di belakangnya, dia mendengar derap langkah kuda teman-temannya semakin mendekat. Keti menyeringai dan bergerak untuk melumpuhkan prajurit malang berikutnya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H