Panggilan mendadak membuat Prima bergegas menyusuri lorong dan membuka pintu ruang kerja inspektur. Ketika dia akhirnya berdiri di depan sosok tubuh kaku di belakang meja yang menatap ke dalam matanya dengan tatapan seperti orang ngantuk nyang menyembunyikan kewaspadaan, jantungnya berdegup kencang.
Dia ditugaskan ke biro detektif kurang dari enam bulan, tapi dalam waktu sesingkat itu, dia telah menyaksikan ribuan keeksentrikan dari komandannya itu. Tangan besar yang bertato mengetuk permukaan meja, bibir yang selalu mengunyah sesuatu, ragu-ragu yang menyelinap dari balik mata yang mengantuk, semuanya seperti sebagian besar surat tugas untuk Prima—surat yang menugaskan tugas yang rumit dan pelik untuknya, kalau bukan luar biasa berbahaya.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang, komandan-"
Prima ragu-ragu sejenak lalu berdeham.
"Saya mungkin mampir sebentar ke Nuna."
Secara tiba-tiba, dagu inspesktur terangkat saat mendengar nama putrinya disebut, membenarkan kekhawatiran Prima.
"Seberapa besar kamu menyayangi nyawamu?"
Suara inspektur mirip geraman binatang buas. Lebih merupakan peringatan daripada raungan kemarahan, dikeluarkan dari tenggorokan yang bertahan dari jarak jauh di balik setumpuk daging dan otot.
Prima jarang mendengar inspektur bersuara seperti itu, atau, dalam hal ini, tidak membuatnya tertipu oleh keramahan dan kelembutan inspektur. Nada permintaan maaf yang keluar dari mulutnya sendiri yang justru mengejutkannya.