Sang Penulis mulai menulis ketika dia masih sangat muda. Dia tidak ingin buang-buang waktu. Membaca itu indah tetapi menulis terasa lebih baik. Setelah dia menyelesaikan buku pertamanya, dia menunjukkannya kepada ibunya.
Sangat bagus, kata ibunya sambil menggarisbawahi semua kata-kata salah eja. Sang Penulis kecewa dengan dirinya sendiri. Bahkan nama kelinci tokoh utamanya, Bobbon, kurang satu B.
Bisa dikatakan Sang Penulis masih terlalu muda. Dia membuang-buang waktu saja.
***
Sang Penulis membuat upaya lain di sekolah menengah. Dia mengirimkan artikel ke majalah dinding sekolah dan melihat kata-katanya terpampang. Ajaib!Â
Dengan beberapa teman, dia menerbitkan sebuah majalah di mana dia menulis macam-macam. Ada dua belas eksemplar setiap edisi. Dia juga menulis cerita pendek untuk dibacakan di kelas.
Namun setiap kemenangan kecil diikuti oleh rasa ragu-ragu yang berlebihan. Kekurangan dalam karyanya menghantuinya. Kemampuan berpikir Sang Penulis untuk mengkritik dirinya sendiri meningkat begitu pesat, sehingga menyelesaikan sebuah karya yang memuaskan dirinya sendiri menjadi mustahil.
Setiap kali dia mendekati akhir cerita, Sang Penulis menjadi lebih pintar dan memandang rendah si gadis yang menulis cerita.
Bisa dikatakan Sang Penulis akan lebih baik jika menunggu pikirannya matang. Dia telah membuang waktunya dengan sia-sia.
***
Sebagai mahasiswi, Sang Penulis menulis makalah-makalah yang ditugaskan oleh para dosen. Dia tidak punya waktu untuk menulis yang lainnya, atau begitulah yang dia katakan pada dirinya sendiri. Namun, pada malam hari, dia menghabiskan berjam-jam menulis di buku hariannya. Pacar-pacarnya menuduhnya mencintai buku harian itu lebih dari dia mencintai mereka. Dia tidak memiliki pembelaan karena dia memang seperti yang mereka tuduhkan. Kadang-kadang, puisi dan karya prosa masuk ke dalam buku hariannya. Namun tidak pernah menemukan jalan keluar. Sang Penulis belum siap, atau begitulah katanya pada dirinya sendiri.
Bisa dikatakan dia lagi-lagi membuang waktu dengan sia-sia.
***
Sang Penulis menulis novel pertamanya. Debutnya.
Hore! Kritikus memujinya. Televisi menampilkan wajahnya di layar. Untuk sementara, Sang Penulis tampaknya telah menemukan tempatnya tepat waktu. Dia menulis novel lain dan lagi dan lagi.
Meski setiap novelnya ada pembacanya, tetapi tidak begitu banyak dan mungkin tidak cukup memadai.
Kata siapa? Yah, bisa dilihat dari saldo rekening banknya. Suaminya yang membiayai gaya hidupnya sejauh ini. Dia tidak iri dengan buku hariannya atau buku-bukunya. Dia hanya ingin membahagiakan istrinya.
Meskipun dia tidak dapat memahami satu kata pun dalam buku-buku yang telah diterbitkannya, suaminya percaya pada Sang Penulis dan buku-bukunya. Masalahnya, katanya, adalah gaya bahasamu. Tidak cukup banyak orang yang memahaminya.
Kamu membuang-buang waktumu dengan percuma.
***
Penulis merenungkan tentang menulis dalam bahasa Inggris. Memang benar bahwa dia tidak harus menulis dalam bahasa yang biasa dia gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sastra Indonesia akan tetap ada tanpa dia.
Memang benar bahwa sebagian besar percakapannya berlangsung dalam bahasa Inggris. Ditambah lagi dengan buku-buku yang dia baca, mimpi-mimpi yang dia miliki, tontonan yang dia lihat. Dia praktis hidup dalam bahasa Inggris. Tetap saja, dia merasa sombong untuk menulis novel dalam bahasa yang bukan bahasanya sendiri.
Namun, tidak ingin membuang waktu lagi, dia memaksa dirinya untuk mencoba menulis dalam bahasa Inggris.
***
Ada saat ketika Sang Penulis menulis dalam bahasa Inggris dan merasa tidak puas. Rain Chudori bisa melakukannya, kata suami. Maksudnya untuk menyemangati, tanpa menyadari bahwa kata-kata itu memiliki dampak sebaliknya.Â
Rain adalah seorang jenius, dia siapa?
Waktu berlalu. Ketidakpuasan tetap ada. Dia hampir siap untuk menyebut upaya itu membuang-buang waktu. Dengan keras kepala, dia bertahan, sampai dia menulis sebuah novel dalam bahasa Inggris dengan judul "The Writer and Time" yang membuatnya senang.
Dia siap menunjukkannya kepada dunia, tetapi siapa yang akan menerbitkannya?
Sang Penulis, rupanya masih membuang-buang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H