Sebagai mahasiswi, Sang Penulis menulis makalah-makalah yang ditugaskan oleh para dosen. Dia tidak punya waktu untuk menulis yang lainnya, atau begitulah yang dia katakan pada dirinya sendiri. Namun, pada malam hari, dia menghabiskan berjam-jam menulis di buku hariannya. Pacar-pacarnya menuduhnya mencintai buku harian itu lebih dari dia mencintai mereka. Dia tidak memiliki pembelaan karena dia memang seperti yang mereka tuduhkan. Kadang-kadang, puisi dan karya prosa masuk ke dalam buku hariannya. Namun tidak pernah menemukan jalan keluar. Sang Penulis belum siap, atau begitulah katanya pada dirinya sendiri.
Bisa dikatakan dia lagi-lagi membuang waktu dengan sia-sia.
***
Sang Penulis menulis novel pertamanya. Debutnya.
Hore! Kritikus memujinya. Televisi menampilkan wajahnya di layar. Untuk sementara, Sang Penulis tampaknya telah menemukan tempatnya tepat waktu. Dia menulis novel lain dan lagi dan lagi.
Meski setiap novelnya ada pembacanya, tetapi tidak begitu banyak dan mungkin tidak cukup memadai.
Kata siapa? Yah, bisa dilihat dari saldo rekening banknya. Suaminya yang membiayai gaya hidupnya sejauh ini. Dia tidak iri dengan buku hariannya atau buku-bukunya. Dia hanya ingin membahagiakan istrinya.
Meskipun dia tidak dapat memahami satu kata pun dalam buku-buku yang telah diterbitkannya, suaminya percaya pada Sang Penulis dan buku-bukunya. Masalahnya, katanya, adalah gaya bahasamu. Tidak cukup banyak orang yang memahaminya.
Kamu membuang-buang waktumu dengan percuma.
***
Penulis merenungkan tentang menulis dalam bahasa Inggris. Memang benar bahwa dia tidak harus menulis dalam bahasa yang biasa dia gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sastra Indonesia akan tetap ada tanpa dia.