Siapa Penyair Majenun? Aku tunjuk dada.
Seorang sohibah-semoga diampuni dosa dan kesalahannya dan diterima amal salihahnya-yang memberiku gelar kehormatan itu.
Sebab musababnya, sebagai pujangga amatir dua dekade silam-mainku di friendster dan beberapa media yang kini tak jelas ke mana rimbanya-aku suka bergenit-genit mentel dengan diksi dan syair layaknya Qais tergila-gila mendambakan Layla binti Mahdi.
Aku tak ingat puisiku yang mana yang membuatnya mengambil kesimpulan bahwa derajatkan setara dengan Qais bin al-Mulawwah, tapi aku bisa mengingat satu puisiku yang paling gila.
Licentia Poetica
Akulah kelana kembara membran sepuluh
butir cahaya jelajah hujung rekata terjauh
gunung ganang bukit bukau lembah jurang palung terdalam
masa depan sejangkau kisaran kaukab silam
Akulah hukama pelontar simpulan soal
jangat liat tak terpanggang surya sepenggal
jadam pengelam perak raksa pemudar swarna
jentera pengungkit daya bahtera arung telaga
Akulah raga wadah rapuh kelambur terkikis waktu
terkatah retak berkeping terbantun layu
penampil bungkus mahal asalnya cuai
rupa gergasi gandarwa ketilik kurcaci katai
Akulah ruh atma sukma jiwa nyawa
terkungkung gores kalam melanglang mara
merejah tirai buram selaput kabut
merejuk tinggi bertembung tautan maut
di sinilah seharusnya markah buka kurung
karena serupa lagu ini patutnya refrain
seperti susastrawan menoreh masnawi
serupa sutradara mengarah stambul
bagai pujangga lama mencipta kakawin
laksana pelukis meniup senja merah jingga
mirip perupa menyodet urat galih jati belanda
jika ada kurung buka seyogyanya hadirkan kurung tutup
jika dan hanya jika kurawal belum termaktub
Akulah subpartikel meson laju mengabai sinar
supernova kerdil putih lubang hitam pulsar
mutantis mutandis mobile in mobilus cogito ergo sum
tempus fugit multiversal conundruum
Akulah letih litak luluh lantak lunglai ringsek
virus penghantar encok sendi pegal linu demam pilek
vaksin antibodi imunisasi majenun asmara
tak kasat mata walau guna laksaan suryakanta
Akulah cuping hidung kelopak mata daun telinga
kesat lidah sensasi di ujung jemari meraba
denyut nadi debur jantung sengal napas
pheromon endokrin adrenalin insulin pankreas
Akulah kau yang kamu
Namun aku bukan sepertimu
Banda Aceh, 27 Mei 2009
Biasanya, jika orang ditanya tentang karyanya di masa lampau, dianya akan bergaya merendahkan diri dan hati. "Ah, bukan apa-apa. Membacanya sekarang malu saya jadinya. Waktu itu masih anak sekolah, satu SMA..."
Aku malu? Tidaaak! Ngapain malu? Tulisan, tulisan gue.
Oh, Anda tidak mengerti makna di balik kata-katanya?
Tenang. Aku pun tidak. Hanya Tuhan yang tahu segalanya.
***
Entah kesurupan arwah penyair siapa, tahun 1999, saat Sidang Umum di Paris, UNESCO menetapkan tanggal 21 Maret setiap tahunnya wajib dirayakan sebagai Hari Puisi Sedunia.
Bagooos! Jadi kami penyair punya hari untuk dirayakan. Apakah harus dengan lilin? Dulu, ya. Karena listrik sering padam. Padahal inspirasi sedang membanjir deras. Membara di dada setipis kertas.
Pada intinya, menyenangkan ketika kita punya sesuatu untuk menjadi alasan menulis puisi. Utama ode untuk mereka yang telah pergi.
Â
Sang Penyair Telah Mangkat, Hidup Penyair!
Aku tahu tuan yang mengetuk pintu masa muda
bergamit berpaling muka remuk redam luka
di dada dalam sunyi kudus mulia bulu mata
menyangga panah asmara gelombang Melaka
umpama gelora permohonan hati lupa
segala gelak bertukar duka turunlah tuan barang sementara.
Alun membawa bidukku perlahan
dilayan putra bangsawan kalbu laksana
tasik dipandang dia dari dalam bercaya
terang tersenyum simpul memandang kawan
menggulung-gulung dengan gemuruh kata
yang datang berduyun-duyun dibawa gaib dalam surga.
Aku terpanggang tinggal rangka ini kali tak ada
yang mencari cinta nanah meleleh dari muka
depanku bertudung sutra senja malam
tambah merasuk sepi menekan mendesak
kerdip lilin di malam sunyi ajal mendekat
dan mengkhianat terpanggang tinggal rangka.
Aku dan engkau berlainan kau pukul raja
dewa kuketuk pintu masa muda
pujiku dikau laguan kawi segala
kuntum mengoyak kepak dan menekan dada
menyatu rupa mengasing kata
gugur tersungkur merenang mata
di mahkota gapura astana pura.
Selesai makan ketika senja bibir gemas meraba
waktu kerling danau di pagi hari di ujung kuburan
menunggu kesepian sungguh sayang cinta
sia-sia merebah pada diri dan kepadatan hari
berperang bumi dan sepi tarian perawan
dan janda takkan bertukar rupa.
Aku keluar mengembara menyala mentari muda
angin kemarau tergantung di belimbing berkembang keluar
dari hutan belantara tersenyum bukanlah kerana bersandiwara
perlahan tersirap darah kita bersetubuh dengan cakrawala
yang marah mulai mengeluarkan senjata matanya
bagai saga hidup ditantang seratus dewa,
Para muda yang raib nyawa.
Â
Bandung , 22 Maret 2016
Dan tentu saja, tentang Hari Puisi Sedunia itu sendiri.
Pada Hari Puisi Bumi, Mengenang yang Telah Pergi
aku tak ingin bicara diksi kata
yang manis beragi dituduh terpenjara
kubiarkan palsumu cukup lama
lanjutlah, puaskan syahwatmu selama kau suka
hari yang entah mengapa menjadi puisi bumi
ku mencipta hening untuk yang telah pergi
ruh mereka yang tlah merasuki-
jiwa pembunuh sepi terbunuh sunyi
aku tak sudi berkelindan kusut intrik
teriak galak muncrat dahak isu politik
nyatanya semua retorika kini berbalik
kalau logika masih jalan, silakan berpolemik
setanggal ini, hari puisi bumi deklarasinya
bagiku setiap hari sama saja seperti cinta
yang tak terbatas waktu ruang matra
maka aku mengenang yang pernah fana
para penemu, penggagas ilmu logika
derai pikiran filsafat simpang peristiwa
nyanyian musim tarian angin seniman kelana
pekik hasrat perlawanan untuk merdeka
pada hari puisi bumi,
berikan hening untuk yang pergi
Bandung , 21 Maret 2016
***
Hari ini, untuk memperingati Hari Puisi Sedunia 2022, aku mempublikasikan beberapa puisi. Belum pernah sebelumnya aku begini, tapi sungguh tak mengapa.
Bandung, 21 Maret 2022