Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Makna Hari Puisi Sedunia bagi Penyair Majenun

21 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 22 Maret 2022   07:11 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada intinya, menyenangkan ketika kita punya sesuatu untuk menjadi alasan menulis puisi. Utama ode untuk mereka yang telah pergi.

 

Sang Penyair Telah Mangkat, Hidup Penyair!


Aku tahu tuan yang mengetuk pintu masa muda
bergamit berpaling muka remuk redam luka
di dada dalam sunyi kudus mulia bulu mata
menyangga panah asmara gelombang Melaka
umpama gelora permohonan hati lupa
segala gelak bertukar duka turunlah tuan barang sementara.

Alun membawa bidukku perlahan
dilayan putra bangsawan kalbu laksana
tasik dipandang dia dari dalam bercaya
terang tersenyum simpul memandang kawan
menggulung-gulung dengan gemuruh kata
yang datang berduyun-duyun dibawa gaib dalam surga.

Aku terpanggang tinggal rangka ini kali tak ada
yang mencari cinta nanah meleleh dari muka
depanku bertudung sutra senja malam
tambah merasuk sepi menekan mendesak
kerdip lilin di malam sunyi ajal mendekat
dan mengkhianat terpanggang tinggal rangka.

Aku dan engkau berlainan kau pukul raja
dewa kuketuk pintu masa muda
pujiku dikau laguan kawi segala
kuntum mengoyak kepak dan menekan dada
menyatu rupa mengasing kata
gugur tersungkur merenang mata
di mahkota gapura astana pura.

Selesai makan ketika senja bibir gemas meraba
waktu kerling danau di pagi hari di ujung kuburan
menunggu kesepian sungguh sayang cinta
sia-sia merebah pada diri dan kepadatan hari
berperang bumi dan sepi tarian perawan
dan janda takkan bertukar rupa.

Aku keluar mengembara menyala mentari muda
angin kemarau tergantung di belimbing berkembang keluar
dari hutan belantara tersenyum bukanlah kerana bersandiwara
perlahan tersirap darah kita bersetubuh dengan cakrawala
yang marah mulai mengeluarkan senjata matanya
bagai saga hidup ditantang seratus dewa,

Para muda yang raib nyawa.

 

Bandung , 22 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun