Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Sekarang

21 Maret 2022   07:07 Diperbarui: 21 Maret 2022   12:38 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena beberapa variabel yang sama sekali tidak tunduk pada pengawasan ahli meteorologi di BKMG, sore ini hujan turun bahkan ketika di radio, dalam perjalanan ke kota, penyiar mengatakan bahwa laporan cuaca sekilas bahwa hari ini akan menjadi hari yang sangat cerah.

Ini adalah suatu kekeliruan, kata Marini.

Melalui percakapan di telepon, mereka sepakat untuk pergi ke kafe tempat biasa. Di sana dia bertemu akan bertemu Jonas.

Mereka minum kopi, bicara berbisik-bisik. Lalu berjalan ke arah yang berlawanan setelah mengucapkan selamat tinggal. Marini memasang senyum di wajahnya, Jonas dengan ekspresi khawatir.

Hari itu tanggal 20 Maret, yang sebenarnya adalah hari ulang tahun Marini yang ke dua puluh empat. Bahkan, karena jenis variabel lain yang belum ditemukan, hari itu juga merupakan hari di mana kehidupan Marini berakhir. Dia menyeberang jalan tanpa menoleh, dan terjadilah.

Tak terlukiskan wajah Jonas saat ibunya berkata: Marini sedang sekarat sekarang di rumah sakit.

Mengebutlah, Jonas. Ngebut.

Rumah sakit tidak jauh, tetapi hujan membuat lalu lintas macet parah.

"Seharusnya tidak hujan," gumamnya.

Hujan deras menghambatnya.

Jantungnya berpacu, Bibirnya kering.

"Semoga dia baik-baik saja," katanya pada diri sendiri, mencoba mencari cara menerobos kemacetan. Matanya tertuju pada panorama buram lampu merah.

Klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga, tak mampu mengalahkan pikirannya sendiri dengan gagasan tentang apa yang terjadi, tepat pada saat dia dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Lalu lintas menyebalkan," katanya.

Lalu lintas adalah pelakunya, tidak diragukan lagi.

Apa yang terjadi pada Rini?

***

"Aku tidak apa-apa," atau begitulah yang dia katakan pada dirinya sendiri.

Kabut yang tidak terlalu tebal mengelilingi lapangan tempat dia berdiri. Dia berjalan ke arah yang tidak diketahui, berbalik ke kirinya. Dia menoleh ke kanan. Dia berbalik ke kiri. Yang dia lihat hanyalah kabut yang menyelimuti tempat itu.

"Tidak ada apa-apa," katanya.

"Aku tidak merasakan apa-apa," katanya lagi.

"Apakah aku sudah mati? Aku tak ingin mati," katanya. Dia terkejut bahwa dia tidak panik. Tidak ada yang menakutkan, pikirnya.

Dia membiarkan dirinya jatuh kembali, ditelan kabut. Saat menyentuh aspal, tidak merasakan apa-apa.

Mendengar suara yang mirip dengan jeritan di derasnya hujan. Begitulah cara dia menafsirkannya.

Itu bukan suaranya. Dia tidak tahu apakah itu suara tubuhnya, jiwanya, kesadarannya, atau realitas alternatif di mana dia mungkin dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Akulah yang menyebabkan kebisingan ini, katanya.

Mungkin.

***

Ketika Jonas tiba di rumah sakit, mereka memberi tahu dia bahwa sudah terlambat.

Dia tidak mau mendengarkan. dia tidak ingin kepastian. Dia menginginkan sesuatu yang lain. Namun, berita headline news meledak di depan matanya.

Jonas duduk di ruang tunggu, menangis dalam hati. Dia tidak menjerit karena pengajaran yang dilakukan oleh ibunya.

"Jangan pernah di depan umum, Nak," katanya, dan dia mendengarkan. Saat itu dia berusia tujuh tahun, di ruang tunggu rumah sakit dengan cedera lutut. Maka dia berhenti menangis.

Dia menelepon dan menjelaskan kepada ibunya dan mama Marini. Mereka menangis, dia tidak. Dia merasa bahwa itu seharusnya.

***

Pada suatu saat di malam hari, dia melihat ke langit sambil berjalan. Dia menghentikan langkahnya. "Kamu bisa jatuh tersandung," kata Jonas.

Melangkah di tengah kabut, saatnya kembali.

"Kini pikirkan sejenak. Apa artinya?" katanya. Tidak ada yang menjawab. Dia maju dengan ragu-ragu, bergerak seperti ikan yang baru saja dipancing. Menggeliat ingin menemukan jawaban.

Marini tak tahan lagi, dia maju menabak dinding kaca.

"Tidak berarti apa-apa," katanya.

Dia berhenti di depan dinding kaca, retakan kecil dirasakan oleh jari-jarinya. Menunggu di depan kaca tanpa berbalik. Dia ingin tidur agar bisa bangun lagi.

"Ini semua salah," katanya. Semuanya salah.

Tutup mata dan nyanyikan sebuah lagu. Lagu yang di malam hujan agar dia bisa tidur. Tidur.

***

Jonas melakukan segalanya. Persiapan, kremasi dan kendi abu. Mama Marini berduka. Ibu Jonas tidak tahu harus berkata apa untuk meredakan derita di hatinya. Dalam satu, dua, tiga, lima, enam jam, semuanya terjadi.

"Sudah selesai," kata Jonas.

delapan hari hari berlalu, dia duduk di kafe bersama mama Marini.

"Saya merasakan kehadirannya di sini," kata mama Marini sebelum Jonas mengalihkan pandangannya.

"Mama pasti tahu sesuatu, Ma," kata Jonas. Marini datang ke sini untuk memberitahuku bahwa dia hamil. Dia merasa bersyukur. Aku khawatir, lebih baik menggugurkan, kataku. Tidak, katanya. Kami tidak berdebat, kami diam, kami melihat hujan turun. Bisakah kamu ikut denganku? Dia bertanya padaku. Aku menolak. Dia berjalan keluar dari pintu itu. Mama tahu, Ma. Permisi."

Mama Marini tidak bisa berkata-kata. Jonas berdiri. Hari ini sangat cerah.

***

"Ke mana aku akan pergi?" tanya Marini. Menembus dinding kaca, lewat celah kecil. Di sisi lain, jalan berbatu menunjukkan tujuan panjang berliku.

Bandung, 21 Maret 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun