Aku memang merakit mesin perjalanan waktuku dari sirkuit, microchip, dan kabel pintar. Tetapi para dewa atau sihir atau takdir yang mengendalikannya. Mungkin aku seorang penemu yang suka membaca terlalu banyak memasukkan dirinya ke dalam ciptaannya. Atau seorang sastrawan perekayasa yang tak dapat memisahkan DNA campurannya sendiri.
Ketika aku mengaktifkannya pertama kali, kerlip, getar, dan jerit menarikku dari kursi kendali, dan aku mendapati diriku berdiri di ruangan gelap gulita. Apakah aku maju atau mundur?
Cahaya menerobos jendela berjeruji, menyorot seorang lelaki compang-camping terbaring di dipan, Matanya tenggelam jauh ke dalam kepalanya, terengah-engah dalam apa yang merupakan napas terakhirnya. Di sampingnya duduk pria kedua, mengenakan mantel kotor, menulis dalam terang cahaya lilin di meja kecil.
Aku mengangkat tangan untuk berbicara, khawatir akan menghentikan napas orang yang sekarat itu, tetapi aku bisa melihatnya melalui tanganku. Aku telah menjadi kabut asap, hantu, dan aku tahu mesinku telah melontarkanku mengarungi waktu, tetapi hanya sebagai arwah. Bagi mereka, aku pengamat bisu dan tak terlihat.
Aku sudah curiga ketika merancang mesinku. Perjalanan waktu ada, tetapi aku takkan dapat berinteraksi dengan masa lalu atau masa depan. Alam semesta menjaga kesuciannya.
Penulis berbalik dari jurnalnya, membungkuk di atas pria yang sekarat itu. "Kamu berada di Rumah Sakit Universitas Washington. Apakah kamu tahu di mana kamu berada?"
Pria yang sekarat tidak menanggapinya. Keringat berkilauan di dahinya yang lebar, menempelkan rambut hitam ke wajahnya. Ruangan itu berbau kematian, benda-benda mati lembab dan busuk: seprai, kasur, dan selimut. Kematian yang basah oleh racun maut. Udara apak masuk terkurung membusuk, berlama-lama di paru-paru yang gagal, lalu melarikan diri dan meracuni udara sekitar.
Rahang pria yang sekarat itu terbuka. Dia menyesap dalam kegelapan ruangan yang gelap, lalu berkata, "Dr. Moran." Dia berhenti, dan aku pikir dia telah meninggal, lalu dia berbisik, "Lord help my poor soul."*
Selama beberapa menit, mereka tetap diam. Lilin yang menyala tak tergoyahkan. Dokter meletakkan tangannya di atas mulut orang mati itu.
"Selamat malam, Tuan Poe," katanya sebelum mematikan lilin.
Dan kemudian dinding lab muncul di sekitarku, melontarkanku ke depan sehingga jidatku membentur dashboard mesin dan dahiku terluka. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku menyeka darah dari luka berbentuk petir di keningku.
Pikiranku berkecamuk. Apakah aku telah menyaksikan saat-saat terakhir Edgar Allan Poe?
Perasaan sukacita membanjiriku.
Aku telah melakukan perjalanan dalam waktu! Aku telah melihat masa lalu! Hasratku yang telah membawaku ke Poe, seolah-olah dengan sihir.
Dengan penuh semangat, aku mengaktifkan kendali. Sekali lagi kedip, getar, dan jerit, dan sekarang aku muncul di dapur tempat seorang perempuan berusia tiga puluhan menangis ketika dia membuka pintu ovennya. Handuk ditekan ke pintu dapur, menyegel ruangan. Dia telah meletakkan rak panggangan oven ke lemari es, dan tanpa upacara, dia memutar kenop yang melepaskan gas, api menyambar dan udara meledak, mendorong atap ke ruang angkasa. Udara sangit. Dalam beberapa menit, kakinya terkulai. Tangan yang mengepal di sisinya, menahannya jauh di dalam oven, terbuka, dan dia meluncur mundur beberapa sentimeter. Ketras-kertas menutupi meja dapurnya. Puisi dengan koreksi pensil di pinggirnya.**
Dadaku nyeri. Aku bertanya-tanya apakah perjalanan waktu membuat kesehatanku? Apa yang dilakukan dengan membebaskan diriku dari cengkeraman penghalang waktu?
Masih enam kali lagi aku menyelami waktu, masing-masing untuk kematian seseorang yang penting bagiku.
Mesinku hanya membawaku ke kematian.
Si Lelaki tua Hemingway dengan piyama dan senapannya.
Ledakan mengerikan itu masih terdengar di telingaku saat aku melihat Mark Twain, di tempat tidurnya, lewat dengan hampir tidak gentar.
Terbatuk-batuk bagai hewan yang terbuang, dahak penuh darah dari bibir Chairil Anwar sebelum membeku dengan tangan mencengkeram dada.
F. Scott Fitzgerald pingsan saat membaca koran. Dia jatuh dari kursinya. Permen yang setengah digigit berserakan di lantai. Kamar berbau alkohol dan muntah.
Amir Hamzah bersimpuh di tepi lubang, tertunduk komat kamit mendaras kalimat syahadat sebelum kepalanya menggelinding ditebas parang mandor pemuda partai komunis.
Dan akhirnya, dengan tepat, H.G. Wells mengembuskan napas terakhirnya di ranjang seperti Poe. Namun matanya terbuka, dan aku berpikir sejenak bahwa dia melihatku saat berkata, "Go away. I'm all right."***
Kembali di lab, aku menangis, mencengkeram jantungku yang nyeri hebat.
Apa yang bisa kulakukan selain meratapi mereka semua?
Aku menekan tombol sekali lagi, dan berdiri di kamar rumah sakit di mana sesosok tubuh terbaring dengan berbagai kabel dan slang bagai jaring laba-laba yang terhubung ke botol infus dan EKG.
Aku tidak mengenali dia pada awalnya. Wajahnya sangat pucat, tetapi di dahinya terdapat goresan berbentuk petir. Aku menyentuh dahiku sendiri.
Goresan di dahi orang yang sekarat itu tampak baru, segar, belum ada tanda-tanda sembuh. Darah di pembuluh nadi terasa bagai pasir dalam jam waktu telah terbentuk.
Kelihatan tidak lebih dari dua hari sejak hari kepergianku melintasi waktu. Aku menunggu ... dan garis EKG berubah datar.
Mesin perjalanan waktuku menyeretku pulang, ke tempat yang kutahu di mana aku akan berakhir.
Bandung, 14 Maret 2022
Catatan:
* "Lord help my poor soul" (Tuhan, tolonglah jiwaku yang malang).
** Sylvia Plath yang menderita depresi selama bertahun-tahun, pada Februari 1963 menyalakan oven di apartemennya di London, dan bunuh diri. Dia baru berusia 30 tahun.
*** "Go away. I'm all right." (Pergi. Aku baik-baik saja).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H