F. Scott Fitzgerald pingsan saat membaca koran. Dia jatuh dari kursinya. Permen yang setengah digigit berserakan di lantai. Kamar berbau alkohol dan muntah.
Amir Hamzah bersimpuh di tepi lubang, tertunduk komat kamit mendaras kalimat syahadat sebelum kepalanya menggelinding ditebas parang mandor pemuda partai komunis.
Dan akhirnya, dengan tepat, H.G. Wells mengembuskan napas terakhirnya di ranjang seperti Poe. Namun matanya terbuka, dan aku berpikir sejenak bahwa dia melihatku saat berkata, "Go away. I'm all right."***
Kembali di lab, aku menangis, mencengkeram jantungku yang nyeri hebat.
Apa yang bisa kulakukan selain meratapi mereka semua?
Aku menekan tombol sekali lagi, dan berdiri di kamar rumah sakit di mana sesosok tubuh terbaring dengan berbagai kabel dan slang bagai jaring laba-laba yang terhubung ke botol infus dan EKG.
Aku tidak mengenali dia pada awalnya. Wajahnya sangat pucat, tetapi di dahinya terdapat goresan berbentuk petir. Aku menyentuh dahiku sendiri.
Goresan di dahi orang yang sekarat itu tampak baru, segar, belum ada tanda-tanda sembuh. Darah di pembuluh nadi terasa bagai pasir dalam jam waktu telah terbentuk.
Kelihatan tidak lebih dari dua hari sejak hari kepergianku melintasi waktu. Aku menunggu ... dan garis EKG berubah datar.
Mesin perjalanan waktuku menyeretku pulang, ke tempat yang kutahu di mana aku akan berakhir.
Bandung, 14 Maret 2022