Aku memang merakit mesin perjalanan waktuku dari sirkuit, microchip, dan kabel pintar. Tetapi para dewa atau sihir atau takdir yang mengendalikannya. Mungkin aku seorang penemu yang suka membaca terlalu banyak memasukkan dirinya ke dalam ciptaannya. Atau seorang sastrawan perekayasa yang tak dapat memisahkan DNA campurannya sendiri.
Ketika aku mengaktifkannya pertama kali, kerlip, getar, dan jerit menarikku dari kursi kendali, dan aku mendapati diriku berdiri di ruangan gelap gulita. Apakah aku maju atau mundur?
Cahaya menerobos jendela berjeruji, menyorot seorang lelaki compang-camping terbaring di dipan, Matanya tenggelam jauh ke dalam kepalanya, terengah-engah dalam apa yang merupakan napas terakhirnya. Di sampingnya duduk pria kedua, mengenakan mantel kotor, menulis dalam terang cahaya lilin di meja kecil.
Aku mengangkat tangan untuk berbicara, khawatir akan menghentikan napas orang yang sekarat itu, tetapi aku bisa melihatnya melalui tanganku. Aku telah menjadi kabut asap, hantu, dan aku tahu mesinku telah melontarkanku mengarungi waktu, tetapi hanya sebagai arwah. Bagi mereka, aku pengamat bisu dan tak terlihat.
Aku sudah curiga ketika merancang mesinku. Perjalanan waktu ada, tetapi aku takkan dapat berinteraksi dengan masa lalu atau masa depan. Alam semesta menjaga kesuciannya.
Penulis berbalik dari jurnalnya, membungkuk di atas pria yang sekarat itu. "Kamu berada di Rumah Sakit Universitas Washington. Apakah kamu tahu di mana kamu berada?"
Pria yang sekarat tidak menanggapinya. Keringat berkilauan di dahinya yang lebar, menempelkan rambut hitam ke wajahnya. Ruangan itu berbau kematian, benda-benda mati lembab dan busuk: seprai, kasur, dan selimut. Kematian yang basah oleh racun maut. Udara apak masuk terkurung membusuk, berlama-lama di paru-paru yang gagal, lalu melarikan diri dan meracuni udara sekitar.
Rahang pria yang sekarat itu terbuka. Dia menyesap dalam kegelapan ruangan yang gelap, lalu berkata, "Dr. Moran." Dia berhenti, dan aku pikir dia telah meninggal, lalu dia berbisik, "Lord help my poor soul."*
Selama beberapa menit, mereka tetap diam. Lilin yang menyala tak tergoyahkan. Dokter meletakkan tangannya di atas mulut orang mati itu.
"Selamat malam, Tuan Poe," katanya sebelum mematikan lilin.