"Suara apa itu?" tanya istriku, Ghea. Dia dan aku berbaring di kursi malas menghadap balkon belakang lantai dua. Sinar redup dari senja berawan membuat dunia memainkan kisah bayangan melalui jendela yang tak tertutup di sisi barat ruang keluarga. Kami berdua duduk di sisi jendela tinggi di sisi kami, berpelukan seperti dua sendok, melawan dingin dari angin bulan Maret yang berhembus lubang ventilasi. Kemilau keringat yang tersisa baru saja berakhir menambah dingin menembus tulang.
"Suara hujan yang mulai turun," kataku padanya. "Suaranya keras di atap seng berkarat."
"Seperti senapan mesin di film Rambo."
"Enggak ada romantis-romantisnya."
"Oh, jadi kita masih romantis? Baiklah, Tuan Romantis, mengapa kamu tidak menulis sebuah puisi untukku?"
"Puisi? Hmmm, coba dengar ...
Dulu ada seorang gadis bernama Ghea
Yang oleh semua pria dianggap bukan wanita
Karena dia menaklukkan dunia dengan -"
"Hei, bukan puisi seperti itu. Buatkan aku puisi yang bagus."
"Oke, beri aku waktu sebentar."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencium wangi jejak sampo bunga apel dari mandi paginya.