Profesor Doktor Saraswati, pakar makhluk astral, berlutut di atas mayat di lantai apartemen. Sebuah lubang menembus dada si mayat tepat di jantungnya.
"Ini Efran Dua," katanya. "Jin ifrit yang mengoperasikan mesin magnet di tempat pembuangan besi rongsokan."
Detektif Sanjo Kaimano berjongkok di sampingnya. "Kamu yakin dia bukan Efran yang asli? Pria yang ditiru oleh si jin ifrit?"
Saras mengangguk. "Lihat bintik-bintik gelap di pakaiannya? Penyamarannya terbongkar karena dia sudah tewas, kembali ke bentuk bayangan aslinya."
"Tetangga mendengar teriakan dan memanggil polisi," kata Sanjo. "Kami harus mendobrak pintu. Pintunya terkunci, begitu juga semua jendela, dan korban tergeletak di sini mati. Mayatnya masih hangat. Dia baru mati beberapa menit."
"Jadi si pembunuh tidak mungkin pergi jauh," kata Saras.
"Tepat."
Keduanya mengangkat kepala dan melihat kedua tersangka yang ditahan di dekat lemari es ukuran sedang. Seorang petugas polisi memegang kaki seorang remaja bersayap yang melayang dan berkali-kali membenturkan kepalanya ke palfon. Polisi lain memegang lengan seorang pria bule kecil kepala botak berjanggut merah telanjang dada tanpa baju, mengenakan celana hijau serta sepatu yang disemir sehingga sinar matahari yang menerobos melalui jendela terpantul dari permukaannya.
Sanjo melanjutkan, "Kami menemukan palasik ini bersembunyi di luar jendela, dan tuyul aneh ini kami temukan di lorong di luar gedung. Keduanya memiliki kartu nama korban."
"Setengah tuyul setengah leprechaun," bisik Saraswati.
"Aku datang karena aku butuh tenaganya!" bentak palasik. "Ibuku adalah petinggi Dewan Musim Kemarau dan mengutusku untuk meminta Efran untuk membangun arena voli pantai."
Detektif itu mengerutkan kening. "Ada dewan palasik?"
"Oh, ya," kata Saras. "Palasik kemarau mengadakan pertemuan di pantai."
"Apa ada juga palasik hujan? Di mana mereka mengadakan pertemuan?"
"Kafe. Pasti karena aroma robusta arabica."
"Begitu."
Sanjo memelototi si palasik. "Kalau kamu datang ke sini untuk mempekerjakan Efran Dua, mengapa kamu mengintip melalui jendela? Mengapa tidak mengetuk pintu?"
Tatapan palasik yang melayang itu kosong. "Mengapa aku tidak masuk lewat jendela?"
Saras menoleh ke tuyulleprechaun. "Dan apa cerita Anda?"
Pria bertopi hijau itu memasukkan ibu jarinya ke ikat pinggang. "Sama seperti anak itu. Aku perlu pintu lemari besi dipasang, dan kudengar orang ini adalah tukang yang baik."
"Dan kamu berada di luar di lorong karena...?"
"Salah jalan di dalam gedung. Aku pikir dinding belakang mengarah ke tangga, tapi malah mencampakkanku ke luar."
"Kalian harus membiarkanku pergi!" pekik si palasik remaja, mencoba menendang petugas yang memegang kakinya. "Ibuku akan menuntut kalian karena telah menahanku!"
"Saya yakin banyak orang termasuk ibumu akan berterima kasih karena kami menangkap si pembunuh," kata Saras. "Bagaimana kalau pembunuhnya mengaku sekarang?"
"Aku tidak melakukannya, aku bersumpah!" teriak si palasik.
"Saya tahu." Saras mengangkat alis ke arah tuyulleprechaun.
Bibir pria kecil botak berjanggut merak itu melengkung. "Kamu menuduhku? Apa buktinya kalau aku pelakukanya?"
"Anda berjalan menembus dinding belakang ke lorong."
"Jadi?"
"Efran Dua ditemukan dalam ruangan tertutup. Pintu, jendela, dan setiap pintu masuk terkunci rapat. Pelakunya harus, secara harfiah, berjalan menembus dinding."
"Ah," kata Detektif Sanjo. "Palasik kita terus membenturkan kepalanya ke langit-langit, jadi jelas dia tidak memiliki kekuatan itu. Kamu satu-satunya tersangka yang bisa melakukannya."
Tuyulleprechaun mengutuk dan memaki dalam bahasa Irlandia Kuno.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya. Sihirku tak sengaja terlepas dariku. Aku hanya seharusnya membawanya bersamaku."
"Membawanya ke mana?"
"Ke Sultan Andor."
Saras merasa punggungnya dialiri hawa dingin.
"Kami telah mendengar tentang dia."
Sanjo melipat tangannya. "Belakangan ini Sultan ANdor telah menimbulkan banyak masalah di wilayah kita. Kamu harus memberi tahu kami semua yang kamu ketahui tentang dia."
Sinar jahat memancar dari mata tuyulleprechaun. "Ah. Aku lebih takut pada cakar Sultan daripada kalian. Aku akan pergi sekarang."
Mendadak saja tangan petugas berseragam yang mencekal lengan si tuyulleprechaun menggenggam udara kosong.
Sanjo dan petugas lainnya melompat ke arahnya, tetapi makhluk jadi-jadian itu melompati ke tembok dan berada di luar sebelum ada yang bisa menahannya.
Sanjo melontarkan sumpah serapah. "Tangkap dia!"
Petugas bergegas melewati pintu. Teriakan-teriakan bergema dari aula apartemen.
Di belakang mereka, Saras berlutut dan memungut koin berkilau dari lantai. "Emas. Benda ini jatuh dari sakunya."
"Apakah itu membantu kita?" tanya Sanjo.
"Yah, kita akan tahu di mana kita bisa menemukannya lagi."
Saras mengulurkan koin emas itu kepada Sanjo, percikan gairah petualangan memancar dari matanya. "Ingin tahu dari mana koin emas itu berasal? Mau ikut mencari ujung pelangi?"
Bandung, 12 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H