Teman sekelas Ghea sedang berdiskusi dengannya untuk membeli timeshare di Summer Palace, jadi aku memahami tujuan makan siang ini dalam percakapan singkat.
Aku berhasil membuat Seruni menggigit beberapa kerat buah dan daging sebelum dia menggeliat dari bangku dan berlari. Sambil meminta maaf, aku berlari mengejarnya.
Aku menemukan dia sedang memeriksa seorang anak lain, seorang anak laki-laki Jepang yang mungkin usianya ak berbeda jauh dengan Seruni. Aku menatap ibu anak laki-laki itu dan mencoba menyembunyikan keterkejutanku, wanita yang sama yang kutemui di sini lima belas tahun yang lalu. Dia tinggi, sosoknya tidak mencolok, dengan celana panjang hitam ketat dan blus merah marun.
Tatapan kami bersentuhan sebelum dia menoleh ke putranya, lalu Seruni berlari dan bocah lelaki itu membuntutinya, memasuki taman pulau yang dipenuhi bunga lili laba-laba merah dan pohon naga. Anak laki-laki itu naik ke bangku batu sementara Seruni menyebutkan warna pakaian anak laki-laki itu, dengan mencampuradukkan bahasa. Wanita itu mengobrol dengan keduanya.
Aku berdiri lebih jauh ke belakang, seorang menikmati ke pemandangan yang berkilauan di bawah sinar matahari, tapi segera wanita itu berbalik, menyadari kehadiranku.
"Berapa usianya?" dia bertanya dalam bahasa Jepang. Pada saat itu, aku bertanya-tanya apakah dia hologram atau hantu.
Tidak, tidak mungkin.
"Bulan depan tiga tahun."
"Putraku juga."
"Apakah dia masuk PAUD?"
"Tidak. Anak Anda?"