Kami berjalan zig-zag di sepanjang jembatan batu yang melengkung menuju restoran. Kabut menyelimuti permukaan air yang penuh dengan ikan koi, meskipun hari ini cerah di tempat lain, proyeksi hologram cuaca dari ratusan tahun yang lalu.
Putri kami, Seruni, dengan bersemangat menyusun katalog warna-warni ikan yang cemerlang dengan kosakatanya yang terbatas. Di seberang kolam rawa aku bisa mendengar bunyi sampan yang tak terlihat menabrak sisi dermaga, gaungnya terdengar hampa.
Bersama kami untuk santap malam, teman sekelas Ghea, telah memesankan meja sebelumnya. Jadi ketika kami akhirnya berhasil membujuk Seruni untuk ikut ke resto, kami dikawal melalui ruang tunggu yang ramai, melewati jembatan, melewati taman yang tenang, ke paviliun kaca, lalu duduk di meja kayu sederhana yang menghadap ke sudut rawa baru.
Seperti biasa dimulai dengan basa-basi. Teman kuliah Ghea, suami dan istri, keduanya berkacamata dan berpakaian rapi, memuji kecantikan putri kami: mata bundar gelap teduh, kulit pucat, kuncir rambut cokelat kastanye.
Daftar menu seperti puisi, bait-baitnya tak dapat kumengerti. Tetapi kedua suami istri yang merupakan penduduk asli mengambil alih.
Pikiranku mengembara mengikuti perjalanan bus antar propinsi selama lima hari melintas bukit dan selat, untuk mengunjungi ayahku sebelum pikirannya tenggelam juga jauh ke dalam lumpur demensia.
Ibu bilang ayah makan daging berjamur, perlu dirawat di rumah sakit. Dia tidak bisa lagi mencium bau. Terakhir kali kami mengunjunginya adalah beberapa bulan sebelum Ghea dipindah ke cabang Kobe. Pada saat itu Ayah bagai robot yang kaku saat berhadapan dengan masa kini, tetapi menyala berapi-api sebagai hantu masa lalu. Sama seperti Kakek.
Seruni gelisah, jadi aku mengajaknya berkeliling. Kami menemukan ruang makan dengan pemain koto. Kerudungnya berkilauan dengan setiap nada yang lahir dari jentikan jari laba-laba di senar papan bunyi. Aku membayangkan semburan kabut air terjun yang sejuk dan menyadari bahwa aku sedang menonton dan mendengarkan sebuah hologram yang diproyeksikan ke masa kini dari kegelapan abad industrialisasi.
Ketika Seruni mencoba melompat, aku memeluknya erat-erat, berharap dia bisa menikmati keajaiban teknologi ini bersamaku, selama fokusnya memungkinkan.
Saat kembali, kami disambut oleh hidangan shabu-shabu, sup seafood pedas, dan banyak makanan lezat lainnya. Jamuan dengan karangan bunga yang lembut, mungkin karena beberapa keanehan sistem ventilasi resto.
Teman sekelas Ghea sedang berdiskusi dengannya untuk membeli timeshare di Summer Palace, jadi aku memahami tujuan makan siang ini dalam percakapan singkat.
Aku berhasil membuat Seruni menggigit beberapa kerat buah dan daging sebelum dia menggeliat dari bangku dan berlari. Sambil meminta maaf, aku berlari mengejarnya.
Aku menemukan dia sedang memeriksa seorang anak lain, seorang anak laki-laki Jepang yang mungkin usianya ak berbeda jauh dengan Seruni. Aku menatap ibu anak laki-laki itu dan mencoba menyembunyikan keterkejutanku, wanita yang sama yang kutemui di sini lima belas tahun yang lalu. Dia tinggi, sosoknya tidak mencolok, dengan celana panjang hitam ketat dan blus merah marun.
Tatapan kami bersentuhan sebelum dia menoleh ke putranya, lalu Seruni berlari dan bocah lelaki itu membuntutinya, memasuki taman pulau yang dipenuhi bunga lili laba-laba merah dan pohon naga. Anak laki-laki itu naik ke bangku batu sementara Seruni menyebutkan warna pakaian anak laki-laki itu, dengan mencampuradukkan bahasa. Wanita itu mengobrol dengan keduanya.
Aku berdiri lebih jauh ke belakang, seorang menikmati ke pemandangan yang berkilauan di bawah sinar matahari, tapi segera wanita itu berbalik, menyadari kehadiranku.
"Berapa usianya?" dia bertanya dalam bahasa Jepang. Pada saat itu, aku bertanya-tanya apakah dia hologram atau hantu.
Tidak, tidak mungkin.
"Bulan depan tiga tahun."
"Putraku juga."
"Apakah dia masuk PAUD?"
"Tidak. Anak Anda?"
"Beberapa bulan yang lalu."
Bocah itu, dengan mata terpejam, mencoba mencium Seruni, mencondongkan tubuh dari jauh.
"Salaman saja," saranku, merasakan sakit di dada.
"Peluk," kata wanita itu, meskipun kata yang dia gunakan mungkin bukan sepenuhnya bermakna memeluk.
Anak-anak berjabat tangan, lalu peluk, atau berpelukan. Kami tertawa.
Akhirnya, bocah itu berhasil mencium Seruni di keningnya. Putriku menggeliat, cekikikan.
Kami memisahkannya, dan saat melakukannya tangan kami saling bersentuhan, mata bertemu, tahun-tahun runtuh.
Kini aku menampak kerutan di sudut matanya. Beberapa helai benang perak bersinar di rambut hitamnya yang berkilau.
Tidak, jika dia adalah hologram, dia tidak akan menua. Kami belum pernah memiliki anak sebelumnya, ketika kami bertemu di resto ini bertahun-tahun yang lalu. Selain itu, hologram-masa-lalu buram dan tidak akurat. Laporan teknologi memperkirakan perlu waktu bertahun-tahun sebelum hologram-masa-lalu dapat ditampilkan sebagai sesuatu yang indah.
Jantungku berdegup kencang saat aku berdiri, menggenggam tangan Seruni. Rasanya begitu ringan.
"Waktunya untuk menyelesaikan makan siang," kataku. "Ucapkan selamat tinggal."
Kami tersenyum dan melambai. Fokusku pada anak-anak, jadi aku hanya sekilas melihat ketegangan dalam senyum wanita di pinggiran.
"Aku sudah mencarimu kemana-mana," terdengar suara dari belakang, dan pemandangan itu meredup, berkedip-kedip.
Aku berbalik dan melihat seorang wanita yang aneh, pucat dan bermata bundar gelap. Rambutnya cokelat kastanye asimetri bergerigi. Seorang pelayan di resto ini mungkin, tapi bahasa Indonesianya sempurna.
"Aku tadi mencari putriku," kataku.
Tetapi Seruni telah menghilang. Tenggorokanku tercekik karena panik. "Dia kabur. Aku harus menemukannya."
Mata wanita aneh itu berkaca-kaca, lalu melingkarkan lengannya di tanganku. Kepanikan menghilang.
Lalu dia mengatakan sesuatu yang membingungkanku, saya saat dia membimbingku kembali ke meja dan mendudukkanku di depan teko teh yang mengepul.
Aku meremas tangan Ghea, yang tampak kuno dalam cahaya yang temaram, dan berniat untuk berbicara dengan mitra baru kami tentang timeshare.
Aku melihat ke seberang meja, terkejut menemukan bahwa mereka telah digantikan oleh wanita misterius ini dan seorang pria lain. Suami istri?
Kata-katanya terus berputar di benakku.
"Putrimu ini yang menemukanmu, Ayah."
Bandung, 23 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H