Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 44: Sarkasme

13 Februari 2022   06:00 Diperbarui: 13 Februari 2022   06:03 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku tidak tertarik, Tya," jawabku saat Mutya menyeretku menuju kedai kopi di pojok jalan tepi pantai.

"Dengar, Him. Kamu akan menyukainya. Aku baru saja bertemu dengannya, tapi aku tahu kalian berdua akan cocok satu sama lain. Dia suka ngomong sarkastik seperti kamu."

"Oh Tuhan! Aku sudah tidak sabar bertemu dia."

"Ya, seperti itu. Sekarang tolong bertingkah seperti layaknya cowok baik-baik."

"Bagus."

Kenapa aku membiarkan dia memaksaku seperti ini?

Mutya mendudukkanku di meja di seberang seorang gadis berambut cokelat panjang yang menutupi sandaran kursi. Dia meletakkan dua cangkir kopi di mukaku dan gadis itu, lalu duduk di meja pojok.

Gadis itu menatapku dan menyunggingkan senyum terpaksa.

Baiklah, makin cepat selesai makin baik.

"Hai, namaku Himawan," kataku dengan senyum aspal.

"Tina," jawabnya. Dia mengetuk kukunya di atas meja dan mengedarkan pandangan keliling kedai.

Mungkin aku bisa membuatnya takut dan menyelesaikan ini, pikirku sambil menyesap kopi.

"Yah, Tina. Sebelum kita benar-benar mulai, aku ingin kamu tahu kalau aku tidak sedang mencari teman kencan. Aku bahkan tidak benar-benar ingin berada di sini."

"Sama," kata Tina sambil mereguk kopinya. "Tapi Mutya menjanjikan aku kopi gratis, makanya aku bertahan di sini."

"Ya. Aku terkejut dia menjodohkanmu denganku. Maksudku, apakah dia memberitahumu?" aku bertanya sambil mencondongkan tubuhku ke arahnya. "Aku baru kabur dari penjara dua hari yang lalu," kataku dengan wajah datar.

"Dan aku baru saja melarikan diri dari rumah sakit jiwa minggu lalu," ucapnya.

Mutya benar. Dia sarkastik.

"Oh ya? Aku juga kecanduan menonton film jelek."

"Aku punya tiga DVD bajakan The Star Wars Holiday Special."

Aku sungguh berharap dia bercanda. Tidak ada orang yang kecanduan sebegitu parah.

"Aku juga tidak punya kerjaan selain main video game sepanjang hari, dan tidak pernah peduli dengan orang lain."

Kepala Tina menunduk menatap layar ponselnya  yang berkedip-kedip dan berisik suara tembakan dan ledakan granat. "Apa?"

Aku menggelengkan kepala, menghela napas panjang. Mutya benar bahwa Tina sarkastik. Dia bahkan mungkin lebih sarkastik dariku. 

"Nah, bagaimana denganmu?"

"Yah..., aku dibesarkan di daerah hitam. Orang tuaku punya toko daging. Aku penah menjadi tersangka dalam tiga kejadian pembunuhan waktu umurku sepuluh tahun. Tak lama setelah ulang tahunku yang ke-17, aku masuk rumah sakit jiwa tak jauh dari sini."

"Dan kamu kira kamu lebih hebat dariku?" Dia benar-benar mencoba mengalahkanku dalam permainan gila ini, jadi sepertinya aku harus mengeluarkan kartu gilaku sendiri untuk menakutinya.

"Mengingatkanku pada beberapa kejadian waktu aku masih anak-anak. Oh, satu hal lagi yang lupa aku sebutkan. Percaya atau tidak, aku sebenarnya zombie."

"Betulkah? Zombi macam apa kamu?"

"Romero."

"Oh ya?"

Aku terkekeh, yakin dia tidak benar-benar tahu apa itu zombie Romero. "Kamu tahu apa itu zombie Romero?"

"Ya. George Romero. Night of the Living Dead."

Wow! Dia benar-benar hebat. "Aku terkejut kamu tahu itu."

"Aku gila film, dan dari apa yang dikatakan Mutya kepadaku, kamu juga."

"Aku juga disebut gila film, sih."

Selera humor yang sarkastik dan penggemar film. Dia mungkin jodohku.

"Jadi, jenis film apa yang kamu suka?"

"Kebanyakan film horor dan thriller klasik." Baiklah, aku akan mencoba.

"Masuk akal untuk zombie," kata Tina sambil tertawa.

"Aku pikir begitu. Jadi bagaimana denganmu?" Aku akan mengajaknya kencan.

"Genre action," kata Tina sambil melihat ponselnya, "dan ngomong-ngomong tentang action, aku harus pergi. Petugas Rumah Sakit Jiwa ingin aku segera kembali," katanya sambil tersenyum sambil berdiri.

"Tunggu!" aku berseru. "Sepertinya selera filmmu cukup bagus. Gimana kalau kita nonton bareng kapan-kapan? "

Tina berhenti sebentar. "Tentu. Aku tidak punya banyak kegiatan."

"Betulkah?" Aku sempat berpikir dia akan menolak.

"Ya. Nonton film dengan zombie yang lari dari penjara terdengar menyenangkan." Dia tertawa dan berbalik menuju pintu.

Aku terkekeh. "Bagaimana kalau besok malam?"

"Besok kedengarannya bagus, tapi aku harus pergi. Petugas Rumah Sakit sedang menuju ke sini," kata Tina sambil melesat ke pintu.

Aku menjatuhkan diri ke kursi dan menggelengkan kepala melihat Tina pergi. Aku menunduk dan menyesap kopiku, kemudian melihat Tina di jendela luar menoleh ke seberang jalan. Mendadak gadis itu melompat dan lari sekencang-kencangnya. Tepat di belakangnya, dua pria berjas putih memegang jaket pengekang mengejarnya.

Mulutku menganga. 

Kopiku tumpah menodai celana.

Bandung, 13 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun