Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 3)

9 Februari 2022   17:09 Diperbarui: 9 Februari 2022   17:19 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri Ikhwanul Halim

Para prajurit kerajaan mencari Keti di sekitar bengkel pandai besi dan tepi sungai, tapi gagal menemukan jejaknya yang menghilang ke dalam hutan. Mereka membuang mayat pandai besi ke sungai dan kembali ke kedai minum yang memberi tahu mereka tentang dia.

Marah dan frustrasi karena kegagalan menangkap penjahat yang sangat dicari kerajaan, mereka membakar kedai bersama pemiliknya dan menangkap semua yang ada di kedai itu untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

***

Janardana membawa Keti masuk ke dalam hutan menjauh dari pasukan kerajaan. Setelah berlari beberapa lama, dia berhenti dan mengatur napasnya yang terengah-engah sambil membungkuk, lutut menyangga tangan. Setelah napasnya kembali normal, dia menegakkan tubuh, melenturkan otot-ototnya dan berbalik menghadap Keti.

"Aku rasa kita sudah aman dari mereka. Karena aku sudah menyelamatkanmu, kamu berutang padaku," katanya sambil nyengir lebar.

"Salah. Aku lagi sibuk mikir cara apa yang aku gunakan untuk menghabisimu," jawab Keti..

"Wow, apakah begini cara kamu memperlakukan sobat yang sudah menyelamatkan nyawamu, Nyi?"

"Sobat? Siapa bilang kita berteman?" Dalam sekejap mata ujung pedangnya menempel di tenggorokan Janar, "Jawab, siapa kamu dan mengapa kamu mengikutiku?"

Janar mengangkat tangannya, wajahnya terlihat puas, "Tenang, Nyi. Mengapa kamu tidak meletakkan pedangmu?"

"Jawaban yang salah,"Keti menggerakkan tangannya. Darah menetes dari luka kecil ke bilah pedang.

Tampang Janar berubah muram dan serius. Keti tersenyum, "Masih menganggapku teman?"

Dia menatap lelaki itu dengan cermat, mengamati setiap lekuk wajahnya. Penguntitnya memang tampan. Alis bulan sabitnya tipis dan sempit. Hidungnya mancung memberi kesan angkuh dan tulang pipinya yang bersudut diukir ke arah rahang yang tajam. Mata hitamnya bulat dan cemerlang, berkilau gembira penuh semangat muda. Rambutnya dikepang ke belakang seperti miliknya. Bahu lebar dan tubuh kekar di balik destarnya. Aroma jantan menguar dan suaranya bergema dalam ketika dia berbicara.

Keti menyipitkan matanya dan mencondongkan tubuh ke wajah Danar, "Apakah kita sudah pernah bertemu, kisanak?"

Senyum terbentuk di wajah lelaki itu. "Ah, kamu ingat sekarang? Dulu aku bergabung dengan Kambing Hitam dan kita pernah bentrok beberapa kali. Anggap saja aku menyukai jurus-jurus pedangmu yang luar biasa dan aku menjadi penggemar beratmu".

Keti mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya, "Tidak buruk. Jadi kalian berencana untuk menyergapku karena aku sendirian sekarangPedangnya menusuk lebih dalam ke tenggorokan Janar, membuka lagi luka tadi yang sudah hampir membeku. "Cukup cerdas. Tapi kalau kalian pikir aku akan jatuh dengan mudah, aku berjanji kamu akan kecewa."

Janar menghela napas panjang dan suaranya menjadi serak karena ludah di tenggorokannya terasa asin. "Telingamu tersumbat atau cara berpikirmu tak secepat pedangmu? Aku bilang DULU aku salah satu dari mereka, Sekarang sudah tidak! Aku tidak tahu kamu akan masuk ke kedai minum. Itu hanya kebetulan atau mungkin memang kehendak para dewa karena kami benar-benar membutuhkan seseorang sepertimu."

"Kita? Kamu meninggalkan satu gerombolan begal hanya untuk bergabung dengan kelompok perampok lainnya? Aku sama sekali tak tertarik dengan rencanamu, kisanak."

"Memang aku bergabung dengan kelompok baru. Tapi kami bukan begal biasa. Tujuan kami mulia."

Terpaku Keti menatapnya selama beberapa kejap dan kemudian melangkah mundur, menjauhkan pedangnya dari tenggorokan Janar dan berbalik pergi,

"Seperti yang kubilang, aku tidak tertarik. Selamat tinggal."

"Kamu akan tertarik," seru Janar, "setelah mendengar apa yang aku katakan."

Keti menggigit bibir bawahnya dengan frustrasi. Jari-jarinya mencengkeram hulu pedangnya erat-erat, siap untuk melumpuhkan penguntitnya yang gigih dengan senjatanya. Dia berbalik dan berteriak kaget, benar-benar terkejut saat melihat Janar berdiri hanya sedepa darinya. Mengapa dia tidak mendengar suaranya mendekat? Bagaimana dia bisa begitu lengah? Lelaki itu menyelinap ke belakangnya dengan keanggunan kucing hutan. Di balik sifat kekanak-kanakannya, dia adalah pria yang berbahaya. Mungkin karakternya yang lucu hanyalah tipuan.

Janar menyeringai ketika Keti meloncat mundur karena terkejut, berusaha menahan tawa saat melihat tampang bingung gadis itu,

"Orang-orang yang bekerja untukku adalah para bangsawan, dan mereka dapat memberimu pengampunan dari Raja. Sejarahmu dengan hukum tidak begitu baik. Wajahmu terpampang di dinding pengumuman desa-desa. Kebanyakan begal telah ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan. Mungkin jika setelah meninggalkan gerombolanmu kamu bersembunyi maka kamu akan selamat, tetapi kamu malah membuat kehebohan di seantero Tulang Bawang. Kamu membunuh mantan prajurit bayaran untuk alasan yang tak dapat kumengerti, dan percayalah, Nyi, namamu paling atas dalam daftar penjahat yang paling dicari Kerajaan. Hanya masalah waktu saja sebelum kamu tertangkap. Dan tadi nyaris saja..

Seseorang telah menjualmu. Pasukan tadi bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah pengawal dari istana dan langsung di bawah perintah Raja. Kamu takkan bisa tenang. Kamu membutuhkan pengampunan dari Raja jika ingin menjalani hidup tanpa terus-menerus melarikan diri sebagai buronan kerajaan."

Keti diam merenungkan kata-katanya. Senyum Janar muncul saat Keti menyarungkan pedangnya dan mengangguk. Dia mengulurkan tangannya sambil memamerkan deretan gigi putih yang rajin digosok dengan arang. "Namaku Janardana."

Keti menjabat tangannya dan mencengkeramnya erat-erat, "Aku rasa kamu sudah tahu namaku, jadi mari kita mulai. Bicara".

"Tentu saja. Kamu tahu, tidak? Gelarmu sangat cocok. Rubah Betina, kecil tapi mematikan."

Senyum Janar menghilang saat menatap matahari yang mulai menghilamng di balik tudung rimba, "Cukup mengobrolnya, kita harus pergi sekarang. Semua akan kujelaskan di tempat tujuan kita."

Sebelum Keti mengucapkan sepatah kata sebagai protes, Janar melesat masuk ke jantung hutan. Keti mendesis frustrasi dan berlari mengejarnya.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun