"Dia setinggi ini," kata Keti sambil mengangkat tangan di atas kepalanya, "dan botak dengan dua codet di pipi kiri. Dia pernah menjadi seorang prajurit bayaran."
Pemilik kedai menghela nafas dan mengerutkan alis, "Perempuan, apakah dia suamimu?"
Keti menatapnya tanpa berkedip. "Aku tidak punya suami. Aku datang ke sini mencari seseorang dan aku pikir kisanak bisa membantu."
Pria itu mengangguk dan mengelus janggutnya yang berantakan perlahan. "Kalau begitu aku tidak tahu siapa yang kamu bicarakan."
Keti melipat tangannya di dada dan menghela napas. Dia memasukkan tangannya ke keranjang rotan di pinggangnya dan mengeluarkan sebentuk cincin emas dan menyodorkannya ke hidung lelaki itu. "Sekarang, di mana dia?"
Lelaki itu menyeringai memamerkan gusinya yang ompong dan mengangguk. "Ada seseorang seperti itu. Dia pindah ke sini lima tahun lalu dan menjadi pandai besi. Dia satu-satunya pandai besi di sini. Seperti yang kamu lihat, desa ini dikutuk. Tidak ada yang ingin tinggal di sini, kalaupun ada yang bertahan karena tidak punya pilihan lain. Tidak ada uang, tidak---"
"Aku tidak punya waktu mendengar keluh kesahmu, kisanak. Di mana aku bisa menemukannya?"
Pria itu mendesis memamerkan gusi. "Pergilah ke arah sungai. Belok kiri," katanya sambil menunjuk dengan jarinya, "Di ujung jalan ada sungai dan persis di samping sungai itu ada bengkel Wesi Geni. Tak mungkin tersesat."
Keti menganggukkan kepalanya dan berbalik untuk pergi. Tatapan matanya segera mendarat pada seorang lelaki yang menutup wajahnya dengan caping. Lengannya bersedekap di perut dan dadanya naik turun perlahan. Dia tampak tertidur, tetapi Keti menyipitkan matanya padanya. Tatapannya bertahan selama beberapa detik dan kemudian dia menuju pintu.
***
Janardana melepas capingnya dan menampar pipinya sendiri.
"Bagaimana mungkin? Dia tahu, Bagaimana dia bisa dengan mudah memperhatikanku? Gadis itu hebat," katanya sambil tersenyum sendiri.
Dia telah membuntuti Keti saat gadis itu memasuki desa. Dia tidak yakin Rubah Betina yang termasyhur akan mengenali seseorang seperti dia. Gerombolannya pernah bentrok dengan gerombolan Keti saat berebut jalur yang ramai untuk merampok, dan dia terpesona olehnya. Dia telah melihat bagaimana gadis mungil itu berdiri tegak ketika berhadapan dengan dua pria besar dan kuat dari kelompoknya selama bentrokan mereka. Mereka telah mencoba menangkapnya, percaya bahwa dia lemah dan rapuh. Janar melihat tangannya berkelebat secepat kilat hingga tak terlihat saat dia menghantam wajah Nirbaya dengan gagang pedang dan sisi tumpul pedangnya menetak belakang leher Balin dan kemudian mengakhiri tariannya dengan tendangan ke pangkal paha mereka.
Sejak hari itu, dia sangat ingin bertemu dengannya lagi, tetapi karena telah terjadi pertumpahan darah antara kedua gerombolan itu, menemuinya hampir merupakan hal yang mustahil.
Janar telah mendengar kabar angin bahwa gadis itu telah meninggalkan gerombolannya dan melakukan pembunuhan brutal terhadap prajurit bayaran purnawirawan di beberapa desa. Tapi dia pikir itu hanya desas-desus. Lagi pula, dia tidak bisa memikirkan alasan mengapa Keti berkeliling memburu tentara bayaran yang sudah uzur.
Tidak pernah dalam mimpi terliarnya dia akan melihatnya di sini, di kedai minum tempat dia mengaso sejenak sambil membuntuti gadis itu. Keti mungkin saja curiga bahwa dia mengawasinya tetapi itu tidak akan menghentikan Janar untuk mengikutinya. Dia hanya harus lebih berhati-hati dan menjaga jarak.
Janar menguping percakapan Keti dengan pemilik kedai. Ternyata kabar angin itu benar belaka. Gadis itu memang sedang memburu mantan tentara bayaran.
Nah, tujuan selanjutnya pandai besi, katanya dalam hati dan berdiri pergi menyusul Keti.
***
Tak lama kemudian, Janar bersembunyi di balik pohon di sungai dan dalam diam menyaksikan Keti berjalan keluar dari bengkel pandai besi sambil memutar-mutar pedangnya yang berlumuran darah. Dia memperhatikan saat Keti membersihkan pedangnya ke dedaunan di semak belukar, lalu berbalik karena mendengar langkah kaki prajurit berbaris ke arah mereka.
Apa yang mereka lakukan di sini? Pasukan kerjaan belum pernah datang ke sini sebelum ini, pikirnya. Dia mengintip dengan rasa ingin tahu.
Saat dia melihat para prajurit berjalan mendekat, mendadak tubuhnya terasa dingin karena ujung pedang menempel di lehernya.
"Kenapa kamu mengikutiku?" sebuah suara terdengar di belakangnya.
Dia tersenyum dan berbisik, "Bagaimana kalau kita menjauh dari mereka terlebih dulu?" katanya sambil menunjuk ke arah pasukan yang datang.
Dia melihat wajah gadis itu menegang, matanya menjelajah mencari jalur pelarian yang aman.
"Tenang, aku tahu jalan rahasia. Letakkan pedangmu dan ikuti aku" kata Janar.
"Untuk apa aku mengikutimu? Bagaimana aku tahu ini bukan jebakan?"
"Itu risiko yang harus kau tanggung. Tetapi percayalah, lebih baik bersamaku daripada menghadapi mereka," jawabnya.
Keti menghela napas dan menyarungkan pedangnya. Janar memberi isyarat padanya untuk mengikutinya. Dia berjongkok dan memasuki hutan dengan Keti menyusul di belakangnya.
Â
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H