Janardana melepas capingnya dan menampar pipinya sendiri.
"Bagaimana mungkin? Dia tahu, Bagaimana dia bisa dengan mudah memperhatikanku? Gadis itu hebat," katanya sambil tersenyum sendiri.
Dia telah membuntuti Keti saat gadis itu memasuki desa. Dia tidak yakin Rubah Betina yang termasyhur akan mengenali seseorang seperti dia. Gerombolannya pernah bentrok dengan gerombolan Keti saat berebut jalur yang ramai untuk merampok, dan dia terpesona olehnya. Dia telah melihat bagaimana gadis mungil itu berdiri tegak ketika berhadapan dengan dua pria besar dan kuat dari kelompoknya selama bentrokan mereka. Mereka telah mencoba menangkapnya, percaya bahwa dia lemah dan rapuh. Janar melihat tangannya berkelebat secepat kilat hingga tak terlihat saat dia menghantam wajah Nirbaya dengan gagang pedang dan sisi tumpul pedangnya menetak belakang leher Balin dan kemudian mengakhiri tariannya dengan tendangan ke pangkal paha mereka.
Sejak hari itu, dia sangat ingin bertemu dengannya lagi, tetapi karena telah terjadi pertumpahan darah antara kedua gerombolan itu, menemuinya hampir merupakan hal yang mustahil.
Janar telah mendengar kabar angin bahwa gadis itu telah meninggalkan gerombolannya dan melakukan pembunuhan brutal terhadap prajurit bayaran purnawirawan di beberapa desa. Tapi dia pikir itu hanya desas-desus. Lagi pula, dia tidak bisa memikirkan alasan mengapa Keti berkeliling memburu tentara bayaran yang sudah uzur.
Tidak pernah dalam mimpi terliarnya dia akan melihatnya di sini, di kedai minum tempat dia mengaso sejenak sambil membuntuti gadis itu. Keti mungkin saja curiga bahwa dia mengawasinya tetapi itu tidak akan menghentikan Janar untuk mengikutinya. Dia hanya harus lebih berhati-hati dan menjaga jarak.
Janar menguping percakapan Keti dengan pemilik kedai. Ternyata kabar angin itu benar belaka. Gadis itu memang sedang memburu mantan tentara bayaran.
Nah, tujuan selanjutnya pandai besi, katanya dalam hati dan berdiri pergi menyusul Keti.
***
Tak lama kemudian, Janar bersembunyi di balik pohon di sungai dan dalam diam menyaksikan Keti berjalan keluar dari bengkel pandai besi sambil memutar-mutar pedangnya yang berlumuran darah. Dia memperhatikan saat Keti membersihkan pedangnya ke dedaunan di semak belukar, lalu berbalik karena mendengar langkah kaki prajurit berbaris ke arah mereka.
Apa yang mereka lakukan di sini? Pasukan kerjaan belum pernah datang ke sini sebelum ini, pikirnya. Dia mengintip dengan rasa ingin tahu.