Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bumi Bersatu

17 Januari 2022   15:03 Diperbarui: 17 Januari 2022   15:08 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuh tahun aku menunggu pencocokan DNA.

Tujuh tahun penantian penuh kecemasan tentang seperti apa dia nantinya. Tujuh tahun ketegangan tentang apakah dia akan menganggapku menarik dan pasangan yang cocok.

Dua puluh satu miliar manusia yang menghuni planet ini. Aku tidak pernah mengerti mengapa begitu sulit untuk menemukan pasangan yang tepat. Roda pemerintahan Bumi Bersatu berjalan lebih lambat daripada yang pernah dimiliki pemerintah negara mana pun sebelumnya.

Selalu masalah birokrasi.

Awalnya, gagasan di balik peninjauan DNA tampaknya baik: untuk mencegah cacat fisik dan penyakit mental. Tapi tidak ada yang pernah berpikir harus menunggu begitu lama atau mungkin kita tidak menyukai pasangan yang ditentukan oleh sistem bank data Bumi Bersatu.

Siapapun dia yang dipasangkan denganku, kami adalah orang-orang yang beruntung. Kami akan mendapatkan pasangan hidup. Kami akan berkembang biak, memiliki lahan sendiri lahan delapan puluh meter persegi di pinggir kota. Itu akan lebih baik daripada beton dan baja, dua puluh satu meter persegi yang didapatkan seorang bujangan. Apalagi baru-baru ini aku juga kehilangan satu-satunya jendelaku, ketika beberapa anak birokrat memanfaatkan jabatan orang tuanya dengan alasan 'kebutuhan'.

Kecocokan DNA berarti kebebasan.

Aku mengambil dokumenku pagi kemarin pagi dari bank data di Bintan. Menyimpannya di bawah bantal. Menjaganya semalaman.

Aku hanya mengenalnya dari nomor serinya yang tercetak di tulang belakang jika aku ingin memeriksanya begitu dia tiba.

Aku takkan melakukannya. Aku hanya ingin bertemu dengannya, mengucapkan beberapa patah kata, mencari tahu apakah juga membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan jodoh, sama sulitnya sepertiku.

Dan kemudian ... menjalani sisa usia bersamanya.

Aku memang sedang menunggu, tapi tak urung melonjak kaget ketika pintu diketuk.

Ketika membuka pintu, adik perempuanku berdiri di hadapanku.

"Lisa, astaga, apa kabarmu?" Aku menariknya ke dalam pelukanku. Terakhir aku melihatnya dua belas tahun silam sejak dipindahkan bekerja ke Hanoi Moi. Ketika aku mencengkeram bahunya, dia menatapku seolah dia tidak mengenaliku.

"Ada apa? Apakah ibu sakit?"

"Tidak. aku..." Air mata mengalir di pipinya.

"Katakan padaku!" Aku mengguncangnya untuk mencari tahu mengapa dia begitu sedih.

Dia mengangkat sebuah map. Adasegel bank data Bumi Bersatu, seperti punyaku. "Aku datang ke sini untuk menemui pasangan DNA-ku."

Mungkin wajahku sama pucatnya dengan dia. Lututku lemas dan aku ambruk ke satu-satunya kursi yang kumiliki. "Maksudmu...."

Dia mengangguk padanya.

"Oh, Lisa. Maafkan aku. Sudah berapa lama kamu menunggu?"

"Sembilan tahun. Aku pikir akhirnya aku menemukan jodohku."

"Aku tujuh tahun."

Tujuh tahun menunggu hasil pencocokan DNA.

Tujuh tahun untuk mengetahui badut yang menjalankan Bumi Bersatu menjodohkanku dengan adik perempuanku sendiri.

Pemilu berikutnya masih bertahun-tahun lagi. Dan mungkin butuh waktu lama untuk meyakinkan tiran yang menjalankan bank data bahwa mereka telah melakukan kekeliruan fatal.

Aku menghela napas.

"Bisa lebih buruk lagi," kataku akhirnya.

"Aku tidak melihat apa yang lebih buruk dari ini."

"Setidaknya, sekarang kita memiliki petak tanah kita sendiri."

Bandung, 17 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun