Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syarat Ketentuan Pengembalian Barang

15 Januari 2022   20:43 Diperbarui: 15 Januari 2022   20:49 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laura menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol. Beberapa detik kemudian dia melangkah keluar dari lift ke lorong tanpa hiasan di sebuah gedung yang alamatnya hanya tersedia untuk orang tertentu.

Untungnya dia adalah salah satu dari 'orang tertentu' itu.

Di ujung lorong, sebuah pintu dengan tulisan, "Pusat Layanan Pelanggan." Laura menegakkan dadanya dan berjalan menyusuri lorong.

"Ayolah, Fico. Berhentilah bermain-main dengan tombol-tombol itu." Anak itu bergegas mengejar. Tangannya yang gemuk menggenggam tangan Laura. "Di dalam sini."

Hanya ada seorang petugas dengan setelan abu-abu tua polos--wol dari domba Selandia Baru asli--disertai dengan kemeja dan dasi yang paling lembut.

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

"Aku ingin mengembalikannya."

Petugas itu melirik Fico, lalu pandangannya yang tanpa ekspresi kembali padanya.

"Baik, Nyonya. Apakah Anda punya kuitansinya?"

"Ya, ini."

Laura meletakkan kartu chip di meja, menimbulkan bunyi klik halus.

"Fico! Keluarkan jari-jari itu dari mulutmu!"

Laura memukul tangan anak itu, ritual rutin yang dilakukan selusin kali sehari, tetapi seperti biasa, anak laki-laki itu memandanginya dengan tatapan memelas, air mata berlinang dari matanya yang  cokelat bundar.

Petugas menempatkan kartu chip ke alat pemindai.

"Seri SX-2033, model termewah, sepenuhnya telah ditingkatkan. Bolehkah saya bertanya apakah unitnya rusak, atau apakah Anda tidak puas dengan produknya?"

Laura menunduk. Jari-jari Fico kembali masuk ke mulutnya dan tanpa dosa mengunyahnya. Laura memelototinya, lalu menyerah. Fico tak pernah belajar untuk menerima perintah. Dia tidak akan pernah melakukannya.

Petugas itu menambahkan dengan nada hormat, "Kami hanya berusaha meningkatkan layanan pelanggan kami. Perlu saya tekankan, semua data disimpan dengan aman."

"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan produk. Saya hanya tidak tertarik lagi."

Petugas membuat catatan. "Pengembalian dana atau ganti produk?"

Laura merasa lebih kuat. "Tolong kembalikan uangnya. Anda boleh mengkredit kartu chip saya. Fico! Ngapain, sih?"

Anak laki-laki itu duduk selonjor di lantai, menyodok debu atau kotoran yang tidak terlihat.

"Hentikan itu sekarang juga! Maaf," kata Laura kepada karyawan. "Tidak peduli berapa kali aku mencoba memberitahunya ..."

"Anak-anak bisa menjadi masalah," kata pria itu dengan simpati yang terlatih.

Laura mencoba tersenyum. "Saya sangat senang Anda mengerti."

Dia merasa bodoh.

"Saya harap Anda tidak membayangkan bahwa saya telah membuat keputusan yang tergesa-gesa."

"Tentu saja tidak, Nyonya." Dia memberinya chip yang berbeda. "Semua pembuktian yang diperlukan ada di sini."

"Pembuktian?"

"Bukti-bukti kecelakaan. Hanya untuk menghindari spekulasi yang tidak menyenangkan."

"Oh ya, tentu saja." Kemudian dia ragu-ragu. "Saya bertanya-tanya bagaimana---yaitu, saya ingin memastikan---tidak akan ada masa depan... keterikatan."

Petugas itu menangkap maksudnya dengan mudah sehingga Laura menyadari bahwa setiap orang pasti menanyakan pertanyaan yang sama. Entah bagaimana itu membuatnya merasa lebih baik---tidak terlalu naif

"Saya dapat meyakinkan Anda, Nyonya, tidak ada alasan untuk khawatir. Perusahaan yang lebih kecil, tentu saja, diketahui menjual kembali komponen, bahkan seluruh unit--"

"Astaga!" seru Laura.

"Memang, Nyonya. Tapi perusahaan kami tidak akan pernah melakukan praktik yang tidak menyenangkan seperti itu. Yakinlah bahwa bahkan komponen dasarnya akan didaur ulang."

Pikirannya menghindar kata 'daur ulang'. Laura sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak perlu mengetahui detailnya. "Bagus sekali," katanya keras-keras, tapi kemudian dia tidak tahu harus berkata apa lagi, atau melakukan apa.

Dia sudah merencanakannya dengan matang, tapi ini adalah momen yang tidak pernah bisa dia bisa latih.

"Kapan pun Anda siap, Nyonya. Jika Anda mau, mungkin secara...?"

"Tidak. Tidak ada gunanya menundanya." Dia menarik bocah itu dengan canggung ke dalam pelukannya, merasa bahwa dia mampu menjadi sedikit sentimental sekali ini saja.

"Sini, Fico. Cium Mama." Fico memegangi wajah Laura dengan tangannya, satu telapak tangan yang basah menempel di masing-masing pipi yang memerah. Dia mencoba untuk tidak peduli saat merasakan riasannya berantakan.

"Fico anak baik kan, Ma?" tanya si bocah dengan nada cemas.

Laura menekan kebencian yang membuncah di dadanya. Kalau saja bocah itu tidak menimbulkan begitu banyak masalah, tidak begitu menuntut....

Tidak, dia tidak ingin memikirkan itu sekarang.

"Fico anak baik."

Bocah itu takkan pernah tahu perbedaannya.

Laura melepaskan kaki gemuk yang melingkar di pinggangnya dan meletakkannya di atas meja. "Sekarang ikutlah sama Om yang baik itu, ya."

"Fico mau pulang bareng Mama!" anak itu meratap.

Laura menangkap bahu Fico saat bocah itu mencoba untuk memeluknya, mendorongnya sejauh lengan. "Saya akan mengambil alih dari sini, Nyonya," kata petugas itu. "Ayo Fico. Di dalam banyak mainan."

Fico bernapas terengah-engah, memandang dari Laura ke petugas. Air matanya kembali mengalir.

Laura menyelinap keluar pintu.

Dia hanya perlu mendengar satu ratapan terakhir sebelum pintu kedap suara tertutup di belakang punggungnya. Butuh waktu beberapa detik untuk menepuk matanya dengan tisu, lalu berjalan menuju lift.

Berhenti sejenak untuk menenangkan sarafnya dan untuk membaca chipnya. Laura merasakan kesedihannya, tragedi yang mengenaskan dari kecelakaan itu.

Fico yang malang, diambil darinya yang masih sangat muda. Syukurlah, dia tidak menderita.

Dia menghela nafas. Itu akan sulit, tapi dia akan baik-baik saja.

Hidup terus berjalan.

Bandung, 15 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun