"Kamu tahu syarat penjualan. Dua suara. Sekarang pulanglah dan buatkan tumis kangkung untuk lakimu."
Moira seharusnya tidak memancing emosinya. Malah adiknya itu tidak menangkap isyaratnya.
"Abang tahu berapa uang pendaftaran sekolah Rudd? Abang tahu?"
Dia meringis. Nama yang buruk untuk keponakannya. Rudd Tora. Seharusnya nama yang lebih keren, misalnya Peter atau Jonas, sesuatu yang terdengar keren. Bukan Rudd.
"Abang tidak tahu karena Abang tidak punya atau anak. Abang, jenius yang malang tanpa perempuan yang sudi menjadi istrimu."
Itu sangat menyakitkan, karena itu membuatnya teringat pada beasiswa ke akademi desain ternama di Milan. Dia gagal karena bakat teman-temannya begitu mengintimidasi dia, sehingga dia memutuskan berhenti. Kemudian dia kembali ke rumah dan mendapat pekerjaan sebagai desainer grafis karena apa pun yang dikatakan tentang rumah, dia tidak merasa tidak berguna di sini. Sebaliknya, dia merasa seperti dia secara heroik melawan beberapa kejahatan besar.
"Oh, aku menemukan sesuatu yang dulu milikmu," katanya dengan nada sekosong yang dia bisa. "Aku menemukannya waktu mencari buku sketsa lamaku."
Moira hanya menatapnya.
Adiknya suka menghinanya dengan cara ini. Ketika dia berteriak dan menghina, Moira tidak membalas dengan meninggikan suaranya. Berbicara dengan kata-kata non sequiturs yang biasa hanya membuatnya semakin naik darah.
"Aku sedang mencari inspirasi," katanya, menuju ke lemari, mengambil piala dari kardus mi instan.
Itu adalah piala partisipasi. Masing-masing mereka memiliki satu saat sekolah dulu.