Beberapa manusia tidak punya estetika dalam apa yang mereka lakukan dan mengapa. Mereka telah memilih begitu banyak dalam hidup mereka, dan pada titik tertentu, semua pilihan baru menghilang. Ketika seseorang tahu persis bagaimana mereka akan berperilaku pada saat tertentu, apakah masa depan mereka sama merupakan misteri? Tidak, hanya takdir, pikir Madam.
Selain itu, dia benar-benar harus datang untuk membeli sendiri. Hanya orang yang tahu yang bisa memilih bola kristal yang bagus, dan Puan tidak memiliki kemampuan itu di dalam dirinya. Gadis itu hampir tidak memiliki bakat sama sekali. Dia bisa membaca petunjuk di bagian belakang tumpukan kartu Tarot, atau membuat kesimpulan secara acak pada saat berikutnya, tetapi hanya itu.
Gadis malang. Dalam bisnis ini, dia akan dimakan hidup-hidup.
Lonceng toko berdentang dan Madam berdiri di ambang pintu, melepas sarung tangannya, jari demi jari.
"Bola kristal. Tunjukkan pada saya yang paling kuat yang kalian punya," katanya kepada pemiliknya, tidak peduli dengan pelanggan lain yang berdiri malu-malu di pojok. "Berapa pun harganya."
"Tentu saja, Madam," kata pemilik toko. "Turut berdukacita untuk untuk bola kristal yang lama."
Dia memilih bola kristal terbesar dan termahal. Â Kecantikan murni---terbuat dari selenite, berat, asap berputar-putar buram seperti susu dan janji-janji samar tentang apa yang mungkin terjadi. Puan harus membawa tiga tas bahu, masing-masing ditumpuk ke tas lainnya, untuk dapat membawanya kembali melintasi setengah kota ke kios Madam Citra: Peramal & Cenayang.
Pukul sepuluh empat puluh satu malam, Madam mengantar Puan keluar dari kios dan memberikan kecupan kering di pipinya, berterima kasih atas bantuannya. Puan akan mengalami malam yang luar biasa, seperti biasa, malam ini, dan Madam dengan senang hati memberitahunya.
Pukul sebelas tepat, Madam memeriksa semua pintu dan jendela kios dan menjerang air dalam ketel hingga mendidih.
Dia menyukai teh dengan susu yang banyak dan satu gula batu mungil. Rasanya bertahan lama di lidahnya, lama setelah dia duduk di kursinya untuk membaca novel yang dipilihnya karena dia punya firasat dia akan menyukainya. Dan memang, novelnya cukup bagus.
Maka ketika jam mulai berdentang dua belas kali, dan Madam menutup buku setelah menandai halamnnya, menunggu lonceng berbunyi. Dia sudah siap.